Sunset Terbaik Di Mandalay

21

Sekitar pukul 4 pagi saya dan Jardness sampai di Mandalay setelah menempuh perjalanan selama 9-10 jam dari Yangon. Badan rasanya kaku dan kram karena saya dapat tempat duduk paling belakang campur dengan barang dan kardus kiriman. Sampai di terminal Mandalay kami disambut penjaja jasa kendaraan. Muka masih kusut mengantuk saya abaikan mereka tapi mereka mengerubuti kami seperti semut ketemu gula. Beberapa menyerah dan beberapa masih setia menunggu saya sadar sepenuhnya.

“Hotel sir? Taxi sir? Motorbike sir?” entah kena sihir apa saya mengiyakan tawaran salah satu tukang ojek dengan harga 15 ribu Kyats atau setera 150 ribu rupiah untuk sehari penuh keliling Mandalay. Jadilah kami menyewa dua tukang ojek untuk menemani kami jalan-jalan, entah kenapa nggak nyewa mobil saja yak padahal kalau uangnya digabungkan setara 300 ribu rupiah.

Sebelum memulai menjelajah Mandalay saya cari tiket bus menuju Bagan sekalian numpang titip ransel di kantor pool bis tersebut. Memang di Mandalay saya memutuskan untuk trip satu hari saja, gaya saya yang touch and go menurut beberapa orang kurang efisien dan bikin capek tapi saya menikmatinya kok. Bayangkan baru saja sampai di Yangon dari Kuala Lumpur langsung naik bis ke Mandalay, trip sehari lanjut naik bis lagi ke Bagan selama 6 jam. Oh punggungkuuuuuuuuuuuu.

Beruntung tukang ojek yang menemani saya bahasa Inggrisnya lumayan jago walau kadang-kadang saya nggak ngerti dia ngomong apa, itu tandanya bahasa Inggris saya yang payah hehehe. Turu, pria 30 tahunan membonceng saya dengan motornya, sementara Jardness dibonceng oleh Koko yang sudah menikah meskipun usia dia masih 19 tahun.

Mandalay merupakan kota terbesar kedua setelah Yangon yang dulunya juga merupakan ibu kota dari Myanmar sebelum dipindah ke Yangon, lucunya sekarang ibukota Myanmar pindah lokasi ke Naypyidaw. Kami memulai perjalanan meninggalkan terminal beriringan, suhu udara pagi itu begitu menusuk, maklum Januari adalah puncaknya musim dingin di Myanmar. Suhu akan berubah drastis menjelang siang hari menjadi panas menyengat.

Kabut pekat dan Sunrise

Kami dibawa ke Mandalay Hill dan harus menaiki tangga untuk bisa menuju kuil Budha di puncak. Pagi itu pengunjung masih sepi, hanya ada beberapa anak muda dengan kamera DSLR masing-masing untuk memburu sunrise. Pemandangan di atas cukup membuat saya merinding melihat kabut menyelimuti kota Mandalay. Hanya sebentar kami di Mandalay Hill dan kemudian memutuskan ke tujuan berikutnya. Kami berdua menyerahkan sepenuhnya kepada tukang ojek kami kemana mereka akan membawa.

Prasasti

Kami memasuki Kuthodaw Paya, kuil di mana terdapat buku terbesar di dunia yang dibangun Raja Mingdon pada abad 18. Saya kira bentuknya seperti buku pada umumnya dengan ukuran yang besar, ternyata bukunya itu berbentuk semacam prasasti dari marmer, jadi satu halaman satu prasasti. Bisa dibayangkan betapa banyak prasasti tersebar di sekeliling kuil. Total sebanyak 729 prasasti berisi catatan dari kitab suci Tipitaka bertuliskan bahasa Burma.

Prasasti yang dari marmer dimasukkan ke dalam bangunan-bangunan kecil ini, dan jumlahnya ada 729, WOW!!!

Gold Leaf Workshop

Selanjutnya kami menuju ke kuil suci Budha paling terkenal dan besar di Mandalay yang juga terbesar kedua di negeri tersebut, Maha Muni Paya. Tapi sebelumnya kami diajak ke bengkel pembuatan kertas emas. Di bengkel tersebut kami melilhat proses lempengan emas yang dipukul-pukul secara manual menjadi setipis kertas. Umat Budha di Indochina setahu saya memang suka menempelkan kertas emas ke patung-patung Budha di kuil. Di Maha Muni Paya ada patung Budha besar berkilauan keemasan. Di dekat patung Budha tersebut berkerumun orang yang rata-rata laki-laki, karena memang perempuan dilarang mendekat. Nah mereka yang mendekat menempelkan kertas-kertas emas ke tubuh patung Budha tersebut. Saya ikutan mendekat dan mencolek tubuh sang Budha, saya gosok-gosok jari saya dan lumayan langsung mengkilat keemasan hehe, kalau nggak dosa mungkin sudah saya congkel haha.

Pengen nyongkel aja deh :p

Jembatan yang membelah sungai Ayeyarwady (Irrawady)

Keluar dari Maha Muni Paya Turu memacu motornya menuju Sagaing sekitar 20 km arah barat daya dari Mandalay, rumah Turu sendiri di daerah Sagaing juga. Kami melewati sungai paling penting di Myanmar yaitu sungai Ayeyarwady (baca: Irawadi), sungai tersebut terbentang dari utara sampai selatan Myanmar. Turu mengantar kami ke anak tangga menuju Sagaing Hill, sama seperti Mandalay Hill, di puncak Sagaing Hill juga terdapat kuil Budha. Pemandangan dari atas ketinggian memang selalu jadi favorit saya.

Selesai di Sagaing Hill saya meminta Turu untuk mengantarkan kami ke rumah makan yang menyajikan masakan Burma. Saya kaget dengan cara penyajiannya, hampir seluruh masakan dikeluarkan di atas meja. Saya sudah ketar-ketir memegang dompet  khawatir tekor tapi nyatanya perorang hanya membayar 20 ribu rupiah. Restoran kecil tersebut menganut sistem all you can eat, sayuran atau lauk yang habis di mangkuk akan langsung diisi lagi sama pelayan, wuih. Lidah saya cocok dengan masakan khas Burma hanya saja penyajian mereka dalam kondisi dingin tidak hangat.

Selamat Makan!

Kenyang makan siang kami melanjutkan perjalanan ke Ava Island atau Pulau Ava, orang sana  menyebutnya Inwa yang berarti “Mouth of the Lake”. Pulaunya sendiri tidak berada di tengah laut tapi di tengah sungai. Dulunya pulau tersebut dibuat untuk pertahanan militer. Inwa sendiri adalah bekas ibukota kerajaan Burma selama 360 tahun dari tahun 1365. Untuk menuju Inwa harus menyebrang menggunakan perahu motor dan satu-satunya kendaraan umum di Pulau Inwa adalah kereta kuda. Seingat saya kami membayar 80 ribu rupiah untuk keliling pulau Inwa menggunakan kereta kuda. Apa yang menarik di Inwa? Hanya reruntuhan bekas istana dari jaman dulu, beberapa kuil, benteng. Tapi kami terlalu pelit untuk membayar 100 ribu demi untuk bisa masuk ke biara yang jadi highlight di Inwa, sudah cukup rasanya kami melihat dan mengunjungi kuil di Mandalay. Dari yang besar sampai yang kecil sampai yang tidak bisa saya eja namanya sudah kami kunjungi semua. Tunggu cerita saya di Bagan yang beneran muntah melihat kuil dan candi.

Reruntuhan di Inwa

Mobil Sport keren bersanding dengan kereta kuda

Terakhir kami menuju Jembatan U Bein untuk menikmati sunset, jembatan dari kayu jati tersebut terbentang sepanjang 1.2 kilometer melintasi danau Taungthaman. U Bein dibangun pada tahun 1850 dan merupakan jembatan tertua dan terpanjang di dunia yang terbuat dari kayu jati. Kalau sore menjelang malam jembatan ini ramai dengan muda-mudi untuk sekedar bersantai, dan bisa saya ikrarkan kalau jembatan U Bein merupakan tempat terbaik untuk melihat sunset di seluruh tempat di Mandalay, happy Traveling!!!

 

Lazada Indonesia

21 KOMENTAR

  1. Wah, jadi pengen banget ke sana, mas..
    Maaf kalau boleh tahu, berapa dana yang harus disiapkan kalau mau melancong ke sana, mas?

  2. Nek tak delok google map e, kok kotanya tertata rapi ya, kotak kotak..

    Btw, opo bedane sih karo Indonesia Lid? Soale nek tak delok2, secara ras koyoke mirip indonesia ya, secara keindahan, koyoke negorone awakedewe lebih bagus.. Trus panganane koyoke enakan Indonesia ya..

    Hahhahaa…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here