Bertamu ke Rumah-rumah Tua Tionghoa di Lasem

71

Alas Asem, Lao Sam, Bhre Lasem. Entah versi yang mana yang harus saya jadikan pegangan cikal bakal nama Lasem yang merupakan kota kedua terbesar di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Konon Bangsa Tionghoa mendarat pertama kali di Jawa adalah di Lasem tapi menurut catatan pasukan Mongol di bawah kepemimpinan Kubilai Khan datang ke Jawa pada abad ke-11 untuk menyerang Kerajaan Singasari mendarat di pesisir Tuban. Mungkin saking banyaknya pasukan yang dibawa dari Mongol yaitu sekitar 20.000-30.000 orang, parkir kapalnya hingga Lasem. Setelah Mongol, datanglah rombongan Laksamana Cheng Ho ke Jawa pada abad ke-13 tapi tidak diketahui kali pertama mendarat di mana.

Lasem bukanlah tujuan wisata pada umumnya yang bisa mengundang orang untuk datang. Hanya sekelumit orang yang suka dengan sejarah bisa menjadikan Lasem sebuah destinasi kunjungan menarik. Letaknya yang di jalur pantura menjadikan Lasem mudah untuk dijangkau dari mana saja. Tapi tidak mudah untuk jalan-jalan di Lasem, sebab tempat yang ditawarkan tidak dibuka untuk umum. Harus dengan seorang pemandu yang merupakan orang Lasem untuk bisa mblusuk masuk ke tempat-tempat yang telah disiapkan untuk dieksploitasi. Beruntung ada Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Karangturi yang mengakomodir kebutuhan wisatawan yang berminat ke Lasem.

Saya sudah janjian di Masjid Jami’ Lasem dengan salah satu pemandu dari Pokdarwis Karangturi yang akan menemani saya keliling Lasem. Setelah bertemu, saya diantar ke Rumah Merah yang merupakan basecamp Pokdarwis Karangturi untuk menitipkan ransel. Di Karangturi inilah berjejer rumah-rumah kuno Tionghoa dengan cirinya yang bertembok pagar tebal nan tinggi dan pintunya yang bergaya Tionghoa banget dan tulisan kanji yang mungkin adalah nama keluarga dari penghuni. Rumah-rumah tua itu bertahan berdiri dengan tambal sulam, terbengkalai, hingga yang hanya tinggal pagar temboknya atau pintunya saja yang di dalamnya sudah digantikan bangunan modern.

Opa

Saya diajak masuk ke rumah Lo Geng Gwan atau biasa mereka memanggilnya Opa. Dahulu bagian belakang rumah ini adalah pabrik batik di awal abad ke-20, sekarang kondisi rumah ini begitu menggenaskan. Barang-barang bekas bertumpuk dan berdebu setebal beberapa milimeter tergeletak di sembarang tempat. Saking banyaknya barang tergeletak, rumah ini kesannya menjadi begitu sempit dan sesak. Opa yang tua dan tidak menikah tinggal bersama sepupu perempuannya Oma yang saat ini sudah tidak bisa ngapa-ngapain. Mandi saja di bantu Mbak Minuk asli Tuban yang sudah ikut di keluarga mereka sejak puluhan tahun. Opa dan Oma, orang akan berpikir kalau mereka adalah suami istri.

Saya nggak kuat berlama-lama di sini melihat orang tua renta di rumah yang kondisinya tidak terawat begini tanpa sanak kadang. Saya tidak mau masa tua saya nanti seperti mereka, duh saya jadi membayangkan yang tidak-tidak. Setelah mengucap pamit ke Opa saya segera pergi dengan menahan sesak di dada, mau nangis rasanya. Duh saya jadi cengeng begini T___T

Oma Christina

Lain lagi Oma Christina yang rumahnya masih terawat bersih dengan perabotan yang sudah uzur sesuai penghuninya. Meskipun Oma Christina berkeriput tapi masih tahes dan kelihatan cantik. Anak-anak Oma banyak yang merantau di kota-kota besar, sebut saja Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Pulang dan kumpul keluarga saat Hari Raya Natal saja. “Saya nggak mau ikut anak,saya suka tinggal di Lasem sini saja,” jawab Oma ketika saya tanya kenapa nggak ikut anak saja. Daripada memperhatikan detail rumah tua yang disajikan, saya lebih banyak mengobrol dengan pemiliknya.

Kebiasaan orang Tionghoa sejak zaman dahulu adalah menghisap opium atau candu. Akibat barang haram tersebut negeri Tiongkok dilanda krisis karena banyaknya pecandu hingga pecah perang candu dua kali di abad 17. Barang terlarang itupun masuk ke Indonesia dan Lasem dengan mayoritas Tionghoa tentu saja jadi tempat perdagangan candu. Di rumah yang dinamakan Lawang Ombo inilah aktivitas penyelendupan dilakukan. Di samping rumah ini ada semacam lubang terowongan ke sungai Lasem untuk menyelendupkan candu dari pasukan Belanda. Candu itu memang racun dan mematikan, apalagi candu asmara.

Rumah Candu

Rumah-rumah tua Tionghoa di Lasem terancam keberadaannya. Para pemiliknya pergi meninggalkan Lasem tanpa menengok lagi dan menitipkan rumahnya kepada orang yang sekiranya mau menghuni dan merawat. Beberapa telah direnovasi dengan penambahan keramik modern seperti rumah-rumah sekarang pada umumnya. Buat apa dan siapa untuk mempertahankan kekunoan itu? Sementara pemiliknya tidak sudi mengeluarkan sepeserpun biaya pemeliharaan yang tidak menguntungkan bagi mereka.

Saya membayangkan Lasem seperti Melaka dan Georgetown di Malaysia, atau Hoi An di Vietnam yang sudah masuk daftar UNESCO sebagai World Heritage. Jaipur dengan kotanya yang serba pink, atau Jodhpur di India yang rumah-rumahnya dicat seragam biru yang memang sengaja dibiayai pemerintah untuk konservasi. Tapi siapa yang peduli dengan bangunan tua di Lasem?

71 KOMENTAR

  1. aku suka melihat hal hal vintage dan bernuansa heritage ..salah satunya lihat Lasem. Pernah denger tapi baru ini lihat gambaran langsungnya, btw soal Opa aku juga merasa iba lho…jangan sampe aku tua tinggal di rumah dengan perabotan berantakan gitu… masa senja. aku menikmati hasil photo mu lho broh. keren.

  2. Selalu suka sama Lasem. Bikin rindu. Kemarin cuma bisa lewat tanpa mampir karena udah malem.
    Dulu main ke Lasem, belum ada Kelompok Sadar Wisata Karangturi, rumah merah pun blom dibuka untuk umum.
    Cuma sempet ke rumah opa aja. Semoga bakal punya kesempatan ke sini lagi. Semoga sejarah Lasem pun ga akan terlupakan.

  3. mau komen seperti kalimat penutup dan ternyata malah sudah ditulis sekalian, walau belum pernah ke Lasem atau Penang Malaysia, tapi ya agak mirip tapi beda nasib *tanda kutip*

  4. belum pernah ke sana, walaupun terlihat nggak seindah kota lain yang kk sebutkan itu, rasanya ini tempat yang bakal memorable banget ya kalau dikunjungi. aku pengin ke sana suatu hari nanti

  5. Jadi turut merasa bersalah melihat Lasem merana seperti itu. Sepertinya beda banget dengan bagaimana pengelolaan wisata di negeri tetangga. Kalau melihat keadaan seperti ini rasanya seperti menyia-nyiakan makanan enak dan membiarkannya basi. Sekarang saya cuma punya harapan (egois) supaya saya bisa bertandang ke sana sebelum makanannya benar-benar basi. Sebelum semua bangunannya hilang.
    Soal nama Lasem, saya pikir semuanya benar, haha. Lasem memang daerah yang begitu penting di masa lalu. Sehingga ketika kini ia cuma menjadi kota kecamatan dengan bangunan reyot, artinya ada kesalahan besar.

    • Ibarat makanan kenapa nggak dikasih formalin ya hehehe. Penghuni keturunan keluarga yang asli sudah pada renta. Beberapa dihuni orang-orang Jawa yang diserahi untuk merawat dan tinggal bersama keluarganya. Sementara kalau direnovasi dengan mempertahankan bentuk aslinya otomatis biayanya bisa dua kali lipat daripada merobohkan dan bangun baru. Ya kita hanya bisa berharap suatu saat ada yang mengelola dengan baik.

      • Iya, kalau renovasi dan mengusahakan agar kualitas bangunan kembali sama dengan masa lalu tentu ongkosnya sebesar Gunung Semeru, Mas. Amin, semoga makin banyak yang peduli ya.

  6. Serasa ikut halan2 langsung ke Lasem! Budaya Tionghoa sangat kental di sana.
    Di tengah gempuran isu toleransi yg agak2 sensitif di negeri ini akhir2 ini, saatnya kita hrs belajar sejarah kembali dan mengingat betapa bhinnekanya Nusantara sejak dulu kala:-)

  7. Menarik banget. Aku seneng tur2 koyo ngene. Aku ilmu anyar. Btw, eman banget, yo… Coba jadi cagar budaya… Aku pernah ketemu kolektor batik Jerman. Banyak koleksinya batik2 kuno buatan Lasem.

  8. Bangunannya terlihat tua tapi masih kuat ya.. Keren suasananya, kalem gitu mas..
    Buat foto atau bikin film disitu keren tuh..he

  9. Yang menarik buat saya itu Lawang Ombo. Belum pernah kesana sih. Tapi jadi pengen dan penasaran. Penasaran sama lubang terowongannya itu loh. Sampai sekarang masih bisa digunakan kah?

  10. Berarti kalau ke lasem sebaiknya pakai pemandu ya. Sip sip. Noted. Setuju sama mas Alid. Seandainya lasem dikelola dgn lebih baik sepertinya bakal sekeren goerge town penang ya. Ah andai pihak berwenang ( kemenpar dan kemendikbud) melakukan hal yg seharunya mereka lakukan…

    • Beberapa tujuan tutup tidak buka untuk umum. Ya masak main nyolong saja masuk hehe. Jadi ya butuh pemandu untuk ngetuk pintu. Secara memang yang dikunjungi sudah tahu kalau dari Pokdarwis tujuannya untuk lihat-lihat.

  11. Kayaknya butuh pengajuan proposal kepada pemerintah provinsi untuk merenovasi tempat ini bang, untuk menjaga kelestariannya sekaligus menjaga budaya yg ada sejak lama.. Biar generasi selanjutnya bisa mengerti dan mengetahui soal sejarah di lasem ini..

    • Hems kayaknya kalau direnovasi dan mempertahankan keasliannya bakalan lebih tinggi biayanya. Generasi yang di sana saja banyak yang kabur ke kota besar hehe. Duh dilema kan 🙁

  12. Saya belum pernah ke Lasem. Tapi, saya punya teman satu kelas yang berasal dari Lasem. Satu yang sangat saya ingat dari dia adalah logat bicaranya yang begitu cepat layaknya rapper papan alas. Ingin rasanya terlibat perbincangan di tengah orang-orang Lasem. Hahaha kok malah logat.

    Ah iya, dari teman saya ini juga, saya dikenalkan dengan aneka jenis batik Lasem. Uapik uaapikk ee..!

    • Heh logat Lasem emang seperti apa mas? Kok saya ngobrol dengan orang-orang di sana biasa aja logatnya haha. Atau emang temennya yang suka ngerap hahaha.

      Nah kebetulan waktu di Lasem saya juga sempet mampir ke tempat pembuatan batik. Yes uapik, coraknya juga banyak terpengaruh budaya Tionghoa 🙂

  13. Saya rasanya pernah melihat lingkungan lasem dibahas oleh Salah satu anggota pojok WB. Namun yang menarik adalah kebiasaan menghisap opium dan perang candu.. membuat negara sebesar China menjadi lemah tak berdaya.

  14. Semoga saja pemerintah punya usaha melestarikan rumah2 itu ya Mas. Mungkin dengan keringanan pajak dsb atau bantuin ambil alih buat museum aoa gtu TFS ceritanya

  15. Aku suka bangunan-bangunan tua ala Tionghoa kayak gitu. Sayang banget banyak pemiliknya yang gak ngurusin atau paling enggak nitipin ke orang yang tepat. 🙁

    Aku pernah baca soal Lasem ini beberapa bulan lalu kalau gak salah dari salah satu blog, ngomongin soal Opa dan Oma juga. Aku awalnya juga mikir kalau mereka suami istri. Sempet mau nangis juga pas baca. Disuguhin lagi di sini, tetep aja berkaca-kaca. Aku lemah.

    Tapi aku kagum sama Oma. Oma gak mau ketergantungan sama anak-anaknya. Lebih milih buat tetap ada di Lasem. :’)

    Kurasa, baiknya Lasem memang jangan dibuka untuk umum sih, Kak. Takutnya feel-nya kurang karena banyak yang datang untuk sekadar…. ehehe. Tapi kalau untuk perlunya pemerintah memberikan perhatian khusus kepada Lasem untuk perawatan dan segala macamnya, aku jelas setuju sekali.

  16. Kalo ke lasem cuma ke rumah opa ini aja ya? Beberapa tulisan tentang lasem selalu opa ini, apa ga ada lingkungan lain?

    Aku denger, di lasem ini soal penumpukan barang ini karena org2 yg udah tajir di tanah rantau mrk sayang buang barang dianggap barang yg bikin mereka tajir sekarang.

  17. Halo Mas Abdul

    Apa kbar dan salam kenal

    saya belum tahu sama sekali kalo di lasem rembang juga ada jejak tinghoa…

    ada teman facebook bertanya :

    ” adakah jejak jejak sunan kalijaga di lasem?”

    saya juga kurang tau..

    kalau kita mau belajar sejarah masa lalu dengan serius dan punya dedikasi maka kita akan paham sejarah termasuk pada poostingan ini.

    semoga ramadhan tahun 2017 bisa kesana.. amiin

    Mukhofas Al-Fikri | BauBlogging

  18. sayang banget yaaaa… kalo bangunan2 tua kayak gini ga ada yg mau merawat 🙁

    itu beda rumah si opa ama oma christina bisa jomplang gitu mas ;p.. yg satu ampun berantakan, yg 1 nya terawat banget :D.. hebat si oma…

    sebelum baca ini, aku taunya ttg lasem itu cuma batiknya :D.. bgs2 juga batik mereka

  19. Wah itu semua komentar sudah beberapa tahun yang lalu.
    Pergilah ke Lasem sekarang, sudah banyak berubah dan rumah-rumah maupun Kelenteng sudah banyak yang dihidupkan dengan tidak menghilangkan makna sejarahnya.
    Sudah 2 kali ke Lasem. Terakhir awal agustus 2024. Yang menyedihkan, Rumah Merah sudah dikomersialkan dengan karcis masuk Rp 50 000 per orang dan dipandu oleh petugasnya yang hanya memberikan keterangan sedikit tentang Rumah Merah itu.
    Sebelumnya, 3 tahun yang lalu, masih bisa masuk tanpa karcis masuk. Di tempat lain hanya ada sumbangan suka rela. Lebih baik menurut saya.
    Saya akan datang lagi ke Lasem, belum bisa melihat semua point of interrest.
    Mas Alid bisa memberikan alamat dari Pemandu lokal Lasem ?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here