Setelah menempuh perjalanan selama 6 jam dari Jombang akhirnya sampai juga di Terminal Giwangan Yogyakarta. Pagi itu matahari kalah gagah dengan awan gelap, ketakutan saya hanya satu, hujan. Nggak lucu kalau trip singkat saya ke Yogyakarta gagal hanya gara-gara hujan, nyatanya sampai di Wonosari hujan deras mengguyur. Kami bertiga: Saya, Jard, dan Chocky duduk manis di sebuah warung di perempatan Munggi menunggu jemputan dari Pak Cahyo Alkananta selaku pengelola Jomblang Resort. Bagi Jard dan saya ini adalah trip terencana setelah Myanmar, tapi bagi Chocky ini adalah trip dadakan karena semalam sebelumnya saya kontak dia yang kebetulan sedang pulang kampung ke Yogyakarta dan langsung mengiyakan ajakan saya setelah beberapa lama berpikir.
Gua Jomblang, saya tahu tempat wisata tersebut justru dari tayangan serial ternama Amerika yaitu The Amazing Race. “Mas tahu iklan Djarum yang flying fox nggak? Itu syutingnya di sini loh mas” terang Pak Yanto yang menyambut kami dan mempersilahkan istirahat sebentar dan menikmati teh yang disediakan. Kami bergabung dengan keluarga Pakistan berkebangsaan Inggris untuk turun ke dalam gua yang berkedalaman 60 meter, mereka membawa tiga anak kecil. Saya cukup ragu untuk turun bersama dengan tiga anak kecil di bawah umur, takutnya mereka akan menghambat dan merengek sepanjang perjalanan karena medan yang sulit. Dan memang Gua Jomblang tidak diperuntukkan untuk anak-anak di bawah umur.
Persiapan
Proses penurunan
Memang untuk turun ke Gua Jomblang dibutuhkan peralatan khusus dan harus dipandu oleh yang sudah berpengalaman. Setelah memakai senjata lengkap yang terdiri dari sepatu boot, helm, dan harness yang terdiri dari chest harness serta seat harness kami satu persatu dipandu untuk turun melalui Single Rope Technique atau Teknik Tali Tunggal yang sudah terpasang di atas bibir gua. “Tegakkan badan, kaki jangan menendang-nendang, santai saja nikmati pemandangan” dan hyuuuuuttt saya dan Chocky yang tandem berdua tiba-tiba bergelantungan di atas ketinggian 60 meter dari permukaan bumi, ada kesalahan sedikit bisa langsung menemui ajal. Setelah bergelayut di atas ketinggian selama beberapa menit kami menginjakkan kaki di dasar Gua Jomblang dan di sambut dengan hijaunya tanaman khas hutan purba yang terdiri dari paku-pakuan dan lumut.
Menggantung
Gua Jomblang yang berlokasi Gunungkidul, sekitar 2 jam dari Yogyakarta tersebut terbentuk dari proses geologi amblesnya tanah ke dalam dasar bumi yang terjadi ribuan tahun lalu. Runtuhan tersebut membentuk lubang atau sumur raksasa sedalam 60 meter dan orang Jawa menyebutnya dengan istilah Luweng Jomblang atau Sumur Jomblang. Gua Jomblang sendiri terbentang di perbukitan karst pesisir selatan yang memanjang dari Gombong di Jawa Tengah hingga karst Pegunungan Sewu di Jawa Timur.
Perjalanan kami teruskan menuju ke Luweng Grubug yang jaraknya sekitar 300 meter dari dasar Jomblang. Medan semakin sulit karena tanah sangat becek bekas siraman hujan, serasa melewati lautan selai coklat kami harus berhati-hati dalam melangkah, salah langkah bisa terjerembab ke dalam lumpur dan susah keluar. Selain medan yang sulit kondisi dalam gua juga gelap sekali, sumber cahaya hanya dibantu oleh lampu senter guide serta lampu remang-remang yang telah di sediakan pengelola. Kekhawatiran saya terhadap tiga anak kecil tadi ternyata salah, mereka begitu menikmati perjalanan walau berkali-kali terjatuh ke dalam lumpur. “Good job dear, keep going” sesekali teriakan orang tua mereka memberi semangat kepada ketiga anaknya. Kami semakin semangat begitu mendenger gemuruh riak air yang menandakan kami sudah sampai di Luweng Grubug. Suara deras nan berisik tersebut berasal dari sungai bawah tanah yang masih satu sistem dengan sungai di Kalisuci.
Menuju Luweng Grubug
Sebelumnya mas pemandu bilang kalau untuk siap-siap kecewa tidak bisa melihat cahaya surga karena sejak pagi cuaca sangat mendung, namun keberuntungan masih berpihak kepada kami. Tujuan kami semua sama datang jauh-jauh dari rumah masing-masing untuk memburu seberkas Cahaya Surga atau Light of Heaven. Sinar matahari yang menerobos masuk dan menyinari gelapnya Luweng Grubug mempesona dan menyihir kami semua. Ketakjuban saya membuat saya merasa begitu kecil di alam semesta ini. “Harusnya bisa lebih terang lagi mas kalau tidak mendung” ujar mas pemandu, ah tapi saya sangat puas mengintip surga kecil tersebut. Selesai mereguk nikmat surga yang tidak seberapa kami semua pulang dalam keadaan basah kuyup karena guyuran air gua yang menetes layaknya hujan.
Light of Heaven
Kalau tadi turun begitu mudah dan butuh hanya sekitar dua menit saja, tapi untuk naik agak sedikit ngeri dan menyusahkan pengelola resort. Karena kami harus dikatrol naik, saya nggak pernah membayangkan kalau yang menarik kami berjumlah sekitar 10 orang lebih dan dilakukan secara manual dengan tenaga manusia. Sekitar 2 menit saya dan Chocky terhenti tepat di tengah dan terombang-ambing, apakah ada yang rusak dengan peralatannya sehingga kami harus terjebak di udara? Dua menit tergantung dengan tali di atas ketinggian tersebut serasa dua ribu tahun dan cukup membuat saya berkeringat dingin, tentu saja saya takut mati. Lega ketika mulai ada gerakan dan lemas begitu sampai atas. Ke surga itu ternyata butuh perjuangan bung!
Inilah manusia perkasa yang mengkatrol kami untuk naik
Kami bergantian membersihkan badan dan menikmati sajian makan siang sederhana yang disediakan pengelola. Nggak heran jika paket tur untuk masuk ke dalam perut bumi tersebut sangat mahal bagi kantong saya, 450 ribu perorang. Bisa lebih murah kalau kalian punya peralatan climbing sendiri dan turun sendiri, tapi sangat beresiko jika tidak didampingi yang sudah pengalaman dan ahli. “Kita bisa kasih diskon, cukup bayar 50 ribu saja, tapi nanti naiknya hanya 5 meter saja ya” kelakar mas pemandu.
Video by Jard
Wonderful Indonesia and happy traveling!!!
Wowwwwww amazing gileeee sampek situ juga jalan2mu wkwkwk. Mantep dech…
Indonesia itu mempesona bung 🙂
Cehhhh… Biar gambar2 jepretan ku dikatanya jelek… Tapi banyak dipamerkan di sini! Cihuyyy! *bangga*
Pret, sebab takde gambar lain hahahaha, Im talking about the gadget quality not your amateur technique :p
hahaha… jadi sebenernya lo sempet takut ya pas gelantungan di atas itu?? sok ga takut lo ah… gw jg sempet kepikiran aneh2 sih, wakakaka… 😆
Gak takut sih, cuma biar keren aja ditulis gitu :p
450rb mahal bangettt 😀 , sebandinglah ya dg pengalam tak terlupakan seumur hidup 🙂 .
buat ngegaji orang2 yang ngatrol naik ke atas hahaha
yeay, akhirnya blogmu bisa dibuka lwt PC kantorku ^^ haha
mek ngunu tok komentarmu -_-
wah keren. kami malah belum pernah kesini mas
Di balik keindahan Gua Jomblang itu ternyata ada kerja keras mas-mas yang narik tali secara manual ya. Baru tahu padahal Gua Jomblang dari kampungku ga jauh..
Foto black and whitenya keren, Mas.
Eh orang Gunungkidul ternyata mas gie…heh mana ada foto black and white??? hahaha semua berwarna kok hahahah
Owalah, aku salah moco, tak kiro gua jombang ternyata jomblang… Pantesan komenku ndik instagrammu aneh.. Haha..
Medeni ya lid, soale musim hujan, jeplok kabeh lemahe..
dari jombang menuju jomblang hehehe…
iyo cak, jemek kabeh, kudu ati-ati, tapi pengalaman yg didapat killer tenan
What?? Pas naik ditarik sama manusia? Kirain manjat tangga atau ada jalan tembus gitu. Wih petualangan kali lah itu. 😀
Wah sepertinya asyik tuh main flying fox
siapa yang main flying fox ya?
aduhh sayang kemaren gak ke sinii
ah rugi haha
mirip2 dalam film yang tentang isi perut bumi gitu.. keren bang
film tentang isi perut bumi apa ya judulnya ??