Dari Air Terjun Sampai Tebing Di Tepi Laut

24

Kalau hari sebelumnya kami dengan santai keliling Pulau Jeju di bagian timur tanpa takut nyasar karena naik mobil dan disupiri orang lokal, di hari kedua saya dan Jard harus sedikit bersusah payah dan aktif bertanya karena kami naik transportasi umum yaitu bis. Berbeda di daratan utama semenanjung Korea yang transportasinya sudah terintegrasi dengan baik seperti subway, di Jeju yang merupakan pulau kecil jadi pilihan transportasi umum hanya dua; bis atau taksi. Tentu saja nggak mungkin saya naik taksi, bisa-bisa tekor. Sebenarnya bis juga sudah terintegrasi dengan baik, secara negara maju gitu, tapi sayangnya nggak ramah sama turis asing. Maksudnya adalah informasi rute di halte, speaker pengumuman kalau sudah sampai semua berbahasa Korea. Di Seoul sih mereka pakai bilingual.

Semalam sebelumnya saya dibantu Mbak Yu Park menyusun rencana perjalanan, karena dia nggak ikut jalan jadi dia membantu saya menyiapkan amunisi untuk menyusuri Jeju bagian selatan. Dari tempat wisata satu menuju ke tempat lain naik bis nomor berapa dan turun di halte mana semua dia yang mencatatkan semua untuk saya. Informasinya benar-benar sempurna, terhitung hanya dua kali saja kami naik taksi bukan karena nyasar tapi nggak kuat jalan. Tidak semua tempat wisata letaknya dekat dengan halte bis, jadi setelah turun dari halte bis kami harus jalan kaki dan kembalinya kita naik taksi menuju tempat wisata selanjutnya. Ongkosnya setara kalau naik bis dibagi berdua, secara nggak jauh-jauh amat. Mbak Yu Park berkali-kali mewanti-wanti saya untuk bertanya dan selalu bertanya “Jeju is different than Seoul, so you have to ask and ask again.”

Model Halte Bis

Air Terjun Jeongbang

Tujuan pertama kami adalah Jeongbang pokpo (pokpo=air terjun), sewaktu dalam perjalanan di bis saya tanya ke bapak-bapak penumpang bahwa kami mau menuju ke Jeongbang dan dengan sigap dia menerangkan dalam bahasa Korea, iya DALAM BAHASA KOREA. Kemudian dia juga menggambarkan peta untuk saya. Sampai di halte tujuan dia juga ikut turun dan memberi tahu arah jalan, ah baiknya.

Dari halte menuju ke air terjun lumayan juga jalannya, 10 menitan kita sampai tujuan. Setelah membayar tiket sebesar 2000 won (Rp. 20 ribu) kami turun menuju lokasi dan saya ternganga melihat air terjun yang begitu langka. Gila, air terjunnya langsung berhadapan dengan laut. Memang air terjun Jeongbang adalah satu-satunya air terjun di Asia yang guyuran airnya langsung mengalir ke laut. Legenda mengatakan ada naga di balik air terjun tersebut dan katanya airnya bisa dibuat menyembuhkan penyakit.

Pengen makan abalone mentah tapi mahal hiks

Air Terjun Cheonjiyeon

Dari Jeongbang lanjut ke Cheonjiyeon kita jalan kaki karena nggak ada bis yang lewat, toh jaraknya lumayan dekat walau tetap bikin gempor kaki. Cheonjiyeon yang berarti kolam dewa, walau berbeda dengan air terjun tadi tapi Cheonjiyeon tidak kalah indah. Kalau yang tadi grojokan airnya mengalir ke laut kalau yang ini ke kolam yang tenang, sayang dilarang mandi. Airnya ituloh yang bening banget dan tanpa sampah sedikitpun yang membuat kesengsem. Tiket masuknya pun sama dengan air terjun sebelumnya yaitu Rp. 20 ribu.

Di dekat Chenjiyeon ada jembatan Saeyeongyo yang menghubungkan ke pulau kecil  Saeseombisa yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dari lokasi Chenjiyeon. Berhubung kaki capek kami tidak menyebrang jembatan dan mengeksplorasi pulau burung tersebut. Cukup foto-foto di depan jembatan sudah puas hehe.

Jembatan Saeyeongyo

Dari jembatan kami melanjutkan ke Oedolgae, kembali ke halte sangat tidak mungkin karena jaraknya jauh sekali. Ada tiga pilihan untuk menuju tempat selanjutnya; jalan kaki yang merupakan pilihan buruk karena jalannya menanjak, naik taksi atau numpang mobil orang. Saya mencoba menumpang mobil orang dengan hasil yang gagal karena hampir 30 menit belum juga ada mobil yang berhenti walau sudah pasang tampang memelas. Akhirnya karena Jard yang sudah malu dia menyerah, padahal saya masih ingin hitchike. Yasudahlah kita naik taksi dan nggak begitu mahal juga ongkosnya kalau patungan berdua setara dengan ongkos naik bis.

Totem khas Pulau Jeju

Sok-sok’an hitchike walau gagal haha, wajah kurang melas

Oedolgae

Sebagai penggemar Dae Janggeum atau Jewel in the Palace tempat ini wajib dikunjungi, karena tempat ini adalah salah satu lokasi syuting film drama tersebut pada episode di mana Dayang Han meninggal di jalan sewaktu diasingkan. Oedolgae adalah jurang batu di tepi laut, tempat yang cocok untuk bunuh diri hahaha. Sepanjang mata memandang hanya lautan dan sesekali ada kapal yang lewat.

Batu hitam yang menjulang ke atas setinggi 20 meter adalah daya tarik keindahan Oedolgae. Legenda mengatakan dulu katanya ada sepasang suami istri nelayan, ketika sang suami tidak kembali dari laut sang istri menangis menuju ke laut dan tubuhnya berubah jadi batu. Kemudia mayat sang suami mengambang mendekati batu tersebut dan berubah jadi batuan datar di bawahnya. Selamanya sampai mati, eeeaaa. Asyiknya di sini nggak ditarik tiket masuk hehe.

Menatap masa depan

Jungmun Daepo Coast Jusangjeolli Cliff

Dari Oedolgae kami jalan kaki menuju halte bis dan cari bis yang akan membawa kami ke tujuan selanjutnya, setelah sekian lama berjalan belum juga ketemu halte bis dan orang yang bisa ditanyai, sepi banget. Akhirnya ketemu juga anak-anak yang barusan bubar sekolah yang bisa ditanyai.

Dari Oedolgae lumayan lama hampir sekitar 45 menit perjalanan menuju Jungmun. Di Jungmun adalah area resort yang banyak sekali tempat wisata, mulai dari museum Ripley’s, convention centre sampai hotel, tapi target kami hanya tebing Jusangjeolli. Nah dari halte bis kami naik taksi lagi karena jaraknya lumayan jauh dan tidak ada bis yang lewat Jusangjeolli.

Kayak paving yak

Sama seperti Oedolgae, tebing jurang di tepi laut, tapi beda dengan Oedolgae yang batunya abstrak. Di Jusangjeolli batuannya membentuk pola kubus dan heksagon seperti buatan manusia. Padahal pola-pola tersebut terbentuk dari luapan lava dari gunung Halla yang meletus ribuan tahun lalu. Tiket masuk juga sebesar Rp. 20 ribu. Puas di Jusangjeolli kami melanjutkan ke tujuan terakhir di Jeju, kembali ke halte kami tidak lagi naik taksi tapi jalan kaki, gempor dah gempor.

Pengunjung

Gunung Sanbang

Sanbangsan atau Gunung Sanbang juga terbentuk dari letusan Hallasan ribuan tahun lalu, lokasinya persis di pinggir laut juga. Kami memutuskan untuk tidak naik ke atas karena kaki yang cenut-cenut nggak karuan. Kami hanya mengunjungi kuil yang berada tepat di kaki gunung dan menikmati pemandangan lautan lepas.

Puas sudah menjelajah Pulau Jeju dalam dua hari dan di hari terakhir merupakan pengalaman yang sangat berharga. Tanpa paket tur saya dan Jard berhasil mengelilingi Pulau Jeju bagian selatan, walau sedikit rempong tapi rasanya puas sepuas-puasnya. Selama dua hari tersebut saya hanya menghabiskan sekitar Rp. 500 ribu sekian di pulau yang terkenal mahal tersebut tanpa booking hotel dan tanpa ikut paket tur. Always travel safe and happy traveling!!!

24 KOMENTAR

  1. dua catatan untuk tulisan. di Asia bukan hanya satu air terjun yang langsung ke Laut tapi ada dua. satunya lagi di daerahku sampang. aku pernah kesana. sayang, fotonya ngak karuan dimana hehe… oh yaaa tampang ngemis kurang hoki tuh…mukanya gimana gituw hahah.. oh saya kira Mas Alid mau ikutan bunuh Diri di Oedolgae hehe…ayo ayo hahhaa

    • Wooooowww, barusan gugling dan ada woooooooowwww… wajib kunjung neh… sayang dia kalah publikasi hiks

      masih perjaka masih muda dan masih ingin keliling dunia ya masak bunuh diri -_-

  2. kalau lautnya, belum ada yang ngalahin Indonesia 😀 jepang, bahkan korea pun hehee. btw, itu tebing – tebingnya malah mirip sama waterblow yang ada di bali loh 😀 eh, korea sama jepang mahalan mana sih?

  3. keren ye air terjunnya yang langsung ngarah ke laut itu..
    sayang lo ga bisa nyebur di kolam dewa itu lid..

    banyak bener ye kaitannya tempat wisata disana dengan legenda jaman dulu. gajauh beda sama di indonesia sini..

Tinggalkan Balasan ke Alid Abdul Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here