Duet Maut Mendaki Gunung Prau

38

Jangan sampai pernah naik gunung, bahaya! Sumpah bahaya, nagihnya itu loh berbahaya hahaha. Awal bulan Maret lalu saya pertama kalinya naik Gunung Penanggungan dan sudah bersumpah tidak akan naik gunung lagi atau setidaknya puasa untuk tidak ke tempat wisata yang nanjak-nanjak. Tapi sumpah serapah saya hancur luluh lantak karena rayuan Dheo yang mengajak naik gunung lagi di akhir bulan Maret. Memang akhir Maret kemarin saya sudah ada rencana dengan dia untuk pergi ke Dieng dan tiket kereta sudah kami kantongi, saya yang sebelumnya sudah pernah pergi ke Dieng merasa rugi kalau harus ke tempat yang sama lagi jadi saya googling tempat wisata lain sekitar Dieng. Apa yang saya temukan adalah bahwa tidak jauh dari Dieng ada titik pendakian menuju Gunung Prau. Bagi yang matanya nggak kuat lihat foto pemandangan indah silahkan matikan monitor dan tutup blog ini, karena saya nggak tanggung jawab kalau kalian mupeng dan iri haha.

Sawah Ladang Lereng Gunung Prau

Jadi beberapa hari sebelum berangkat saya mengajukan ide untuk naik Gunung Prau ke Dheo, dasar dia memang freak dan hobi nanjak mengiyakan saja tanpa beban. “Beres deh, tenda, kompor, dan lain-lain aku yang bawa, sampean cukup matras dan logistik saja” yes hanya kata-kata itu yang saya tunggu dari dia muahahahaha. Peralatan dia untuk aktivitas outdoor memang lengkap, lha wong keril saja saya pinjam dia.

Di hari keberangkatan saya hampir ketinggalan kereta dari Jombang menuju Yogyakarta, kereta berangkat pukul 15:05 dan saya datang pukul 15:03. Begitu saya datang Dheo yang ketar-ketir menunggu saya di stasiun langsung misuh-misuh muahahaha. Sampai Yogyakarta sekitar pukul 8 malam dan kami menginap di rumah kawan saya di daerah Kota Gede. Sebenarnya rencana saya tidak menginap tapi langsung menuju ke Magelang malam itu juga. Berhubung kereta kami datang telat di Stasiun Lempuyangan sehingga bis Trans Jogja ke Terminal Giwangan sudah tidak beroperasi. Iseng BBM kenalan lama saya dan disambut dengan ajakan  menginap di rumah kontrakan dia. Kami meninggalkan Yogyakarta menuju Magelang sekitar pukul 3 pagi dan dari Magelang lanjut ke Wonosobo dan sampai di Dieng sekitar pukul 10 pagi. Saya pernah menuliskan rute dan wisata-wisata Dieng di sini.

Isi bensin dulu sebelum nanjak naik

Setelah puas keliling tempat wisata Dieng, tukang ojek kami mengantar ke titik pendakian di Patak Banteng, setelah registrasi di basecamp yang letaknya di belakang Balai Desa kami makan siang sebentar dan bersiap untuk segera naik. Jalur start pendakian berada di balik desa jadi kami masuk ke perkampungan dulu dan hampir saja kesasar kalau tidak diberitahu warga kampung “belok kanan mas kalau mau naik!”. Saat itu banyak sekali pendaki yang naik, maklum saja libur panjang. Kami berdua yang banci foto belum juga beberapa langkah sudah berhenti untuk foto sana dan foto sini. Jalur mendaki masih sangat mudah karena didominasi jalan berbatu atau makadam, kanan kiri sawah warga model terasiring yang tertata rapi, pemandangan yang sangat langka bagi saya yang tinggal di dataran rendah walau sering juga lihat sawah dan ladang, namun tetap saja saya merasa kagum dengan hamparan ladang sayuran di depan mata.

Nanjak sambil narsis

Belum juga setengah jam berjalan saya sudah ngos-ngosan setengah mati, ritme gerakan dan nafas saya belum terbiasa. Walau jalannya bagus tapi kemiringan mencapai 50 derajat, setelah melewati plang pos pertama jalan sudah mulai ekstrem dan sedikit demi sedikit jalur trekking keluar dari ladang memasuki hutan. Target kami harus mencapai puncak sebelum gelap, kami berpacu dan berlomba dengan pendaki lain sambil bercanda. Setelah jalan kaki menanjak selama 3 jam kami sampai di puncak dan segera kami mendirikan tenda karena cahaya matahari semakin meredup. Selain cahaya semakin gelap kondisi puncak saat itu kabut tebal dan jarak pandang hanya sekitar 3 meter. Sekitar jam 6 sore tenda kami sudah berdiri dan kami mati gaya harus melakukan kegiatan apa. Gelap, kabut tebal, dingin, sinyal tentu saja mati, dan sunrise masih sebelas jam lagi. Akhirnya kami tiduran saja di dalam tenda menunggu pagi, rasanya waktu berjalan lambat sekali malam itu. Di saat saya sudah tertidur pulas meringkuk dalam tenda, si kunyuk Dheo membangunkan saya “Mas sunrise mas, sunrise!” dalam keadaan setengah sadar saya melihat jam yang masih menunjukkan pukul 10 malam, sialan!!!

Kissing the sun among fog

Kabut is everywhere

Pukul 4 pagi kami bangun keluar tenda dan jalan-jalan sambil menunggu sunrise, tidak sampai 10 menit kami kembali ke tenda. Apa yang bisa dilihat, lha wong cahaya masih gelap dan kabut tebal ditambah lagi suhu sangat menusuk tulang. Beberapa menit di dalam tenda perut saya mules kebelet, kalau sudah di alam begini satu-satunya tempat untuk membuang hajat adalah di semak-semak. Berbekal headlamp dan tisu basah saya cari semak-semak yang paling aman posisinya dari jangkauan manusia kemudian boker dengan sempurna hahaha. Jangan harap bisa cebok dengan air, bawa air dua botol besar untuk logistik hanya cukup untuk persediaan naik, memasak di puncak, dan untuk turun. Selesai buang hajat rasanya menjadi manusia terkotor di dunia karena cebok hanya pakai tisu basah, rasanya kurang afdol dan kurang bersih kalau tidak dengan air hahaha. Yang menjadi perhatian saya adalah, banyak pendaki yang ngaku pecinta alam tapi banyak sekali berceceran tisu basah di sekitar semak-semak. Dan semua bekas cebokan, bukannya menjaga kebersihan tapi buang tisu sembarang tempat, apa kalian nggak malu ngaku-ngaku jadi pecinta alam. Nah kalau saya walau bukan pecinta alam sejati tapi tisu bekas cebokan saya bawa turun gunung, sumpah.

Telaga Warna Dieng terlihat dari atas ketinggian

Bukit Teletubbies

 

Urusan dengan alam selesai, cahaya matahari sedikit demi sedikit mulai nampak, kabut masih begitu tebal dan kami gagal menyaksikan indahnya matahari terbit di puncak Gunung Prau. Walau begitu pemandangan dari atas puncak begitu memukau dan membuat saya tidak ingin beranjak pergi. Dari puncak Gunung Prau kita juga bisa melihat Gunung Kembar yaitu Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, bahkan terlihat Gunung Merapi juga. Gunung-gunung perkasa tersebut malu-malu bersembunyi dibalik tebalnya kabut. Kami semua mengandalkan angin untuk mengusir kabut-kabut tebal tersebut, ketika kabut berlarian tercerai berai karena semburan angin kami semua cepat-cepat menggambil gambar.

Tapi kabut nakal tersebut datang lagi dan menyelimuti gunung-gunung gagah di hadapan. Banyak pendaki yang mulai turun setelah matahari terbit, tapi kami masih ingin menikmati surga dunia dan mengabadikan sebanyak-banyaknya. Belum puas juga namun kami harus segera turun, selain akan semakin panas kami juga harus mengejar kereta pulang ke Jombang di Yogyakarta. Pemandangan saat turun tidak kalah indah karena kita bisa melihat Telaga Warna Dieng dari atas ketinggian.

Gunung Prau yang terletak di Dataran Tinggi Dieng tepatnya di Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo tersebut biasanya dijadikan target pendakian Triple S (Slamet, Sindoro, Sumbing). Gunung Prau dengan ketinggian 2565 mdpl cocok untuk pendaki pemula karena hanya dalam 2-3 jam mendaki sudah mencapai puncak serta jalur trekking yang tidak begitu ekstrem atau kalau boleh saya bilang nanjak-able. Walau begitu yang namanya alam semuanya harus dipersiapkan dengan matang, jangan jadi pendaki 5 cm yang ala kadarnya kalau tidak mau celaka. Selalu jaga dan lestarikan alam. Take only memories leave nothing but footprints, deuh berasa pendaki sejati haha, okesip siapa yang mau ngajak saya mendaki lagi??? Wonderful Indonesia, happy traveling!!!

 

38 KOMENTAR

  1. Ih, awakmu kok maleh lemu ya lid.. AKu ae maleh kuru loh..

    Btw bentuke tisu basah kuwi koyok opo sih? Aku pas nginep ndik pulau mending ngempet ngising wae. Ditahan sampe nemu jeding sing penak hahaha…

    Btw, para pendaki kuwi opo gak nggoleki kali digawe ngising?

    • aku gak betah ngempet caaaak hahaha… gunung cak bukan hutan haha,,, mana ada kali -__- klo ada ya boker di situ hahaha… nango indomaret utowo alfamart cak akeh tisu basah ahaha…

      lemu??? duooooohh gagal diet >_<

  2. Bukit teletabis nya cakep yaaaaa, masih ngak sanggup gw naik gunung …… Tobatttttttt. Yang bikin miris di dieng ini, semua bukit di jadikan kebun, gw cuman takut longsor kalo ujan gede

    • iya om klo musim hujan sering baca berita di sono longsor gara2 punggung2 bukit dijadikan ladang kentang dan sayuran.

      Yahhh maklum om kan dah tua muahahaha,,,, klo naik gunung bisa bengek :p

  3. saya paling suka melihat orang yg lagi berladang, apalagi kalau mereka memetik hasil panen, rasanya ingin ikut metik panen juga. Alam Kita memang indah luar biasa

  4. emang kalo di gunung dijamin susah cari toilet.
    jadi aja semak semak buat boker.

    dan ternyata gunung ini gak begitu tinggi ya..
    di puncaknya aja masih tumbuh padang rumput gitu..

    bisa diakses pake mobil gak?
    :p

  5. Fotomu ra sopan, Lid!!!
    Ra sopan apikke sampe bikin iri …~_~…

    Satu2nya gunung yg pernah ku daki itu Gunung Bromo, dan temenku “sakit hati” gara2 kusebut dia Pendaki Gunung Bromo :))

  6. Wah kayaknya pas sepi tuh gunung prau kemaren kesana untung pas dapat sunrise tapi sayang rame banget maklum pas minggu sih makanya rame. Dan untungnya gw selalu bisa nahan boker setiap jalan ke gunung. Hahahaha

  7. Pas di POS tiga, saya kayak hampir pingsan lho, Mas. 😀
    Gunung Prau emang cnatik, apalagi bukit teletabisnyeee. 🙂

  8. Wooooh, saya baru tahu mendaki gunung ada jalan konbloknya gitu. Bikin pingin njajal buat mendaki juga, hahaha. Tapi… berhubung lokasinya di Dieng yang siang hari aja udah bikin saya kedinginan… tak pikir-pikir lagi deh sambil meringkuk di dalam selimut ya?

  9. wohoho…
    muncak e keren mas. Pemandangannya keren bin yahuuut pooll (Y) (Y) (Y).
    aku mbok di ajak mas lak muncak. #serius lho aku mas.

  10. Wah TS nya dari Jombang nih. Salam kenal mas,saya pendaki dari Mojokerto… Tonggo dewe. Fotonya mantap puuoolll.jadi pengen nyoba gunung prau nih….

Tinggalkan Balasan ke bocah petualang Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here