Eropa Kecil di Vigan

30

“Tarak dung ces… Trak dung trak dung… drududum terereeeettt tret”. Dentuman drum berharmoni indah dengan bunyi simbal yang cempreng dan tiupan terompet bersahutan satu sama lain. Berisik tapi tidak bikin telinga iritasi. Rombongan grup drum band berhasil memecah Vigan yang pagi itu masih lumayan sepi. Saya sengaja bangun pagi untuk menikmati kota tua Vigan dan disambut dengan meriah. Benar-benar membuat mood saya berada di level atas.

Pemain musik berseragam rapi, lengkap dengan mayoretnya yang cantik memegang tongkat. Semua ingin menampilkan penampilan terbaiknya. Ada acara apa gerangan? Seluruh pemain bergeser maju ke depan diikuti rombongan di belakangnya. Seketika saya terperanjat melihat sesuatu di belakang grup drum band. Sebuah peti mati dalam kotak kaca beroda empat yang ditarik kuda. Saya tidak salah lihat, benar-benar peti mati. Jadi itu tadi rombongan pelayat orang meninggal. Baru kali ini saya melihat jenazah diarak dengan meriah. Untung saya tadi menahan diri untuk tidak joget sambil sorak-sorak, bisa dihajar massa saya kalau jingkrak-jingkrak dalam duka.

Saya tinggal di Vigan selama 3 hari 2 malam setelah sebelumnya dari Ilocos Norte. Vigan sendiri adalah ibu kota Provinsi Ilocos Sur. Tanpa mengerti Bahasa Spanyol saya yakin kalau Norte itu artinya Utara dan Sur itu artinya Selatan. Dua hari saya keliling sendiri, dan satu hari saya jalan bareng travel blogger pensiun; Mbak Zizah dan Mbak Yusmei yang kebetulan mereka juga sedang liburan ke Filipina. Apa saja sih yang menarik di Vigan?

Mestizo District
Vigan menjual usia tua dan sejarahnya. Banyak bangunan perpaduan Spanyol dan Oriental yang masih utuh berdiri dan tersebar di beberapa tempat. Nggak salah jika UNESCO mentasbihkan seluruh kota Vigan menjadi warisan budaya dunia. Nah jantungnya wisata Vigan ada di Mestizo District. Deretan rumah-rumah tua sepanjang jalan di Calle Crisologo menarik turis untuk berfoto ria dengan tema vintage. Sayangnya turis harus pintar-pintar nyari spot berfoto, sebab nyaris semua rumah berubah jadi hotel atau restoran, mentok-mentok jadi toko souvenir.

Untuk bisa keliling kota tua Vigan bisa jalan kaki atau naik calesa (kereta kuda). Harga untuk naik calesa perjamnya 150 Peso atau 40.000 Rupiah. Jangan kuatir, tarif tersebut tarif resmi di sana, jadi nggak bakalan ditarget mahal sama kusirnya. Saya lebih memilih jalan kaki sambil hunting foto tema street. Hunting foto hanyalah alasan semata, yang sebenarnya adalah saya ngirit alias missqueen.

Di kawasan ini saya sempatkan masuk ke Museum Crisologo yang dikelola secara swasta oleh keluarga/klan Crisologo. Nggak perlu membayar, cukup donasikan seikhlasnya setelah mengisi buku tamu. Isinya memorabilia dan segala pernak-pernik dari Floro S. Crisologo yang merupakan salah satu tokoh politik dalam sejarah bangsa Filipina. Segala baju, piring, meja kursi, tulisan di media zaman dahulu, dan lain sebagainya terpampang. Menginspirasi saya untuk membuat hal yang sama ketika saya sudah nggak ada di dunia ini. Siapa tahu bekas sempak saya bisa dipigura terus dipajang untuk menarik orang *digemplang*. Selain Museum Crisologo ada Syquia Mansion yang selalu tutup setiap saya datang datangi. Kok kzl.

Kalau sore bisa jalan-jalan santai di Plaza Burgos, malamnya bisa lihat air mancur menari-nari di Plaza Salcedo yang letaknya selemparan batu dari Plaza Burgos. Yang bikin bete, ketika saya ke Vigan, air mancurnya sedang dalam masa perbaikan. Siyal. Note: Plaza dalam Bahasa Spanyol artinya alun-alun.

Plaza Burgos

Ilocos Regional Museum Complex
Museum di belakang gedung pemerintahan ini masuknya gratis dan bekas sebuah penjara. Isinya benda-benda tradisional orang Ilocano. Serta beberapa memorabilia dari tokoh penting seperti Presiden Quirino yang merupakan presiden ke-6 Filipina. Di museum ini juga saya mengetahui kalau Tagalog bukanlah bahasa nasional Filipina. Buku Pelajaran waktu saya SD mengatakan kalau Tagalog adalah bahasa nasional. Yang kemudian dibantah oleh petugas museum yang saya ajak ngobrol.

“Ilokano people speaks Ilokano, not Tagalog. And our national language is Filipino, not Tagalog,” tegas sang penjaga. Intinya Tagalog itu Bahasa Daerah yang memang banyak dipakai orang Filipina setelah Cebuano dan Ilokano, disusul bahasa daerah lainnya.

Saya sempat menyaksikan pertunjukan teater terbuka di luar kompleks museum saat malam hari, saat itu memang sedang berlangsung festival di Vigan. Meski saya nggak mengerti sekalipun bahasanya, tetapi saya menikmati sekali akting tiap para pemainnya.

Vigan Cathedral & Bantay Church
Katedral dan gereja di Filipina jumlahnya sangat banyak, sebelas dua belas mungkin dengan masjid di negeri kita. Maklum saja, mayoritas penduduk di sana memeluk agama Kristen. Ada dua tempat ibadah umat Kristiani yang paling terkenal karena sejarahnya. Metropolitan Cathedral of the Conversion of St. Paul the Apostle atau biasa disebut Katedral Vigan yang lokasinya tepat di depan Plaza Salcedo pertama kali dibangun pada 1641. Tuwaaaaak banget. Dua kali hancur karena gempa bumi, dan sekali kebakaran. Jadi bangunan yang sekarang itu dibangun ulang sekitar tahun 1790 sampai 1800. Model arsitekturnya mirip dengan Gereja Paoay yang bergaya Earthquake Baroque.

Vigan Cathedral

Yang kedua Gereja Bantay atau nama aslinya Saint Augustine Parish Church, lokasinya sedikit melipir keluar Vigan, meski nggak jauh-jauh amat. Gereja Bantay umurnya lebih tua dari Vigan Katedral. Gerejanya memang bangunan baru, satu-satunya saksi bisu adalah bell tower yang lokasinya di samping gereja. Masuk gerejanya bebas keluar masuk, tetapi ke bell towernya harus bayar. Agak sedikit was-was ketika naik ke atas menara yang terbuat dari batu bata merah ini. Takut tiba-tiba retak dan ambrol. Ternyata sampai di atas aman-aman saja. Pemandangan kota Vigan dari atas menara sungguh suatu sungguhan yang luar biasa.

Bantay Bell Tower

Selain tujuan wisata utama di atas, supir bajaj yang kami sewa membawa kami ke beberapa tempat yang lumayan jauh dari pusat kota. Salah satunya tempat pembuatan gerabah. Yang bagi kami hal tersebut bukanlah hal yang istimewa. Lah begituan banyak di Indonesia. Bagi bule mungkin luar biasa, karena bisa melihat pembuatan gerabah secara langsung. Lah bule saja lihat pohon pisang di negara tropis bisa kejang luar biasa saking kagumnya. Kita mah boseeeeeeeeeeeeeennn. Supir bajaj ngarep komisi mungkin dari penjual gerabahnya.

Kemudian ke Hidden Garden of Vigan yang isinya ternyata hanya toko tanaman dan bunga merangkap rumah makan. Ngapain juga beli bibit bunga jauh-jauh di Filipina, beli pun paling kena cekal dan masuk karantina bea cukai. Terakhir yang paling absurd adalah ke Kebun Binatang yang dibangga-banggakan rakyat Vigan. Wadehel, what are we doing here in the zoo? Kebun binatang isinya cuma bebek piaraan doang. Singa dan binatang buas lainnya nggak ada. Yang jadi ikon kebun binatang ini adalah patung Dinosaurus raksasa. Keburu ilfil, kami memutuskan cabut dari sana.

Ngeeeeeeng Ayo Keliling Vigan

Siapa sangka kota tua yang dulunya adalah perkampungan pedagang etnis Tionghoa dari Fujian ini berkembang menjadi kota wisata yang menarik. Konon nama Vigan berasal dari Bahasa Hokkien, Bee Gan yang berarti Pantai yang Indah. Spanyol masuk menguasai Filipina, dan karena Bahasa Spanyol bunyi /b/ mewakili pengucapan huruf B dan V, jadilah disebut Vigan hingga sekarang. Nggak usah pusing, semua nyebutnya Vigan bukan Bigan, kalau ESDEGAN mah enak.

Happy traveling!

30 KOMENTAR

  1. Wakakakakakak, aku yo kaget iku pas ngerti arak-arakan drum band. Kirain ada apa, ternyata ada orang meninggal. Dua pula pas aku ke sana. Satu udah tua, satu lagi masih anak-anak.

    Btw, ke Bell Tower gratis yes. Gak ada bayar-bayar. Mungkin dirimu pas ramai aja itu kok disuruh bayar. 🙂

  2. Ohh jadi Tagalog kui bahasa daerah koyo ning Indon ki Boso Jowo, Ngapak, atau liyane ngunu? Gek weruh awakku hahaha. Lid, lantai satu buat toko sovenir, trus lantai duane masih rumah tinggal atau malah wes jadi guesthouse kabeh?

  3. Lha iya, barusan cek, ternyata bener bahasa nasionalnya Filipino dan Inggris. Trus bedanya apa?
    mungkin tagalog itu kayak bahasa Jawa yang banyak digunakan ya. Trus Lid, sepengalamanku di Filipina kalau masuk tempat berbayar (kayak museum) itu harganya mahal gak? dan apa ada perbedaan harga antara asing dan lokal?

    • Inggris bukan bahasa nasional tapi bahasa resmi, hayoloh mumet kan haha. Kayak di India, mereka gak punya national language, tetapi hanya official language. Bedanya Filipino sama Tagalog? Aduh aku nggak paham hahaha.

      Aku jadi mengingat-ingat tiket-tiket yang aku beli selama di Manila hahaha. Seingatku enggak dibedakan sih, atau aku memang lupa haha. Malah Ilocos Regional Museum Complex, gratis, tinggal isi buku tamu doang. Dan yang dikelola swasta hanya donasi seikhlasnya.

      Termahal masuk San Agustin Church di Manila, gerejanya gratis, masuk museumnya bayar 200an peso, sekitar 50rbuan. Aku nggak ingat itu harga orang asing atau lokal. Tetapi sepadan banget karena museumnya begitu memukau. So far nggak semahal tiket masuk di India sih, banyak gratisan malah hahaha.

  4. Acara kematian koyok ngunu iku khusus keluarg tertentu opo memang tradisi penduduk kono?

    Yo gawe judul museumsing keceh ” my sempak have been around the word” isi museum e sempak sempak yang telah melanglang dunia *dikaploksempak wkwkwkk. eh tenan, bakalan jadi museum yang sungguh emboh tapi pasti banyak pengunjung ….yang nggak jelas. :)))))

    • Wakakaka engkau sunggu menginspirasi maaaaaaaaakkk, bolongan sempak ini dari India, sempak jamuran dari Tiongkok hahaha.

      Ritual mengarak peti jenazah dengan musik kan budaya orang Spanyol kayaknya. Di Meksiko juga ada.

  5. wkwkkkwkwk… aku baca kalimat pertama langsung ngakak 🙂
    tp emang sih kalo ngetik panjang2 terus komennya cuma “keren, mantep, mantul, ki rasane piye ngono”

    aku pernah baca kalo tagalog itu embrio bahasa filipino, jadi ya kayak bahasa indonesia dr bahasa melayu terus dpt tambahan dari bahasa mana2 termasuk bahasa daerah

    udah sering dengar dan baca ttg vigan, tapi selalu kagum sama bangunan tua yg terawat kayak gini, selain vigan, aku juga pengen ke bohol sekalian liat bukit coklat itu

  6. Sakjane nek setiap sampean ngomong direkam mas. Dadine engko ada museum cocot alid. Mantap.
    Mungkin aku juga bakal seneng duluan nek lihat ada arak-arakan, tadi sempet berharap itu beneran karnaval terus emang si keranda mayat e itu cuma gimmick. Wkwkw.

    Oh yo aku jadi inget sama temenku dari jepang, tiap ada pohon dia nanya “itu pohon apa”
    Terus pas tak kasih tau, itu Mangga, pisang. Mereka kayak excited banget. Di sana cuma ada buahnya aja sih ya nggak tau bentuk pohonnya kaya gimana. Wkwkwkw

    • Terus fungsine cocotku opo yoooooo. Jek mikir. Lagian nek cocotku akeh video nang yutub hahaha.

      Sebagai orang dari negara tropis merasa bersyukur, buah-buahan melimpah ruah. Tapi panas kemringet haha.

  7. aku udah selesai baca tapi garis merah di atas itu belum habis. yasudah numpang menyampaikan uneg-uneg setelah beberapa kali scroll, ku mulai bosan liat hampir semua foto mu berkaos merah dan celana pwndek jeans. kalo itu terus isi museum mu nanti kurang banyak OOTD nya.

    itu mungkin pengelola bonbin nya bisa study banding ke gembira loka.

  8. Ooooo, nembe weruh aku yen ataglog duduk boso nasional Filipina. Moga2 buku pelajarane wis direvisi. Btw, kuwi foto bengi2 kok serem, yo.

  9. Kok baca pos ini jadi pengen ke Filipina juga ya.
    Beneran tagalog bukan bahasa nasional sana? Kenapa di buku-buku seperti itu ya?
    Keliling kota naik kereta 40ribu itu inget becak Malaka :))

Tinggalkan Balasan ke mysukmana Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here