Hoi An: Sang Tua-tua Keladi

43

“If you like traveling so much, probably you won’t get married just like me?” Wadezingggg. Kalimat itu meluncur dari mulut seorang turis Jepang begitu dia tahu kalau saya saat itu sedang traveling solo alias jalan-jalan sendiri a.k.a jomblo traveler. Saya kesedak semangka yang sedang saya kunyah. “Why?” tanya saya penasaran sambil nyeruput teh hangat di meja. “Because you don’t have time to think about it, I’m too enjoy with my passion. Now I’m too old to get married.” Masuk akal. Tapi aku kan masih mabelas taun jadi belum kepikiran buat kawin ah.

Masih di bawah umur belum kepikiran kawin

Menginap di hostel tipe dormitory serunya bisa nambah temen-temen dari berbagai negara. Kami sekamar tapi tidak seranjang. Semalam beliau juga ngajak saya nongkrong sambil dugem tapi saya tolak karena terlalu penat setelah sehari keliling Hue. Pagi itu kami sarapan bareng di restoran bawah.

Obrolan absurd tentang pasangan hidup tadi menjadi bumbu penutup kunjungan saya di Hue. Setelah tukeran email dan foto bareng, saya pamitan. Pagi itu saya harus segera cabut ke Hoi An dengan menumpang bus yang sudah saya booking sehari sebelumnya. Dari hostel saya jalan kaki ke pool bus sembari memikirkan kata-kata beliau. Aukh ah gelap. Selamat tinggal Hue. Hoi An saya datang.

Tiba di Hoi An sekitar pukul satu siang. Butuh sekitar 3-4 jam perjalanan dari Hue untuk ke kota kecil ini. Rencananya saya hanya setengah hari di sini karena memang tujuan wisatanya tidak banyak, semuanya terpusat di satu tempat. Saya mencoba titip tas ransel di pool bus di Hoi An tapi ditolak sama pegawainya. “Di sini bukan tempat penitipan barang mas, titip hati saja saya tolak.” Mmmpppffttt. Terpaksa saya keliling Hue dengan beban ransel di punggung.

Hari pertama ngetrip biasanya masih kuat memanggul ransel. Hari kedua masih kuat walau agak nyut-nyutan. Hari-hari selanjutnya, andaikan nggak perlu ganti sempak, saya sudah buang ransel mungkin. Dan ini sudah hari ke-enam saya di Vietnam, rasanya pundak sudah nyeri-nyeri sedap memanggul beban ransel. Tapi beratnya ransel tak seberat beban kehidupan. Halah.

Dari parkiran bus saya jalan kaki sekitar dua kilomoter. Sebenarnya bisa naik ojek tapi saya ingin jalan santai sambil menikmati suasana Hoi An. Alasan utamanya sih pengen hemat ongkos hehehe.

Dahulu Hoi An bernama Faifo dan merupakan kota pelabuhan utama Kerajaan Champa yang telah melakukan perdagangan rempah-rempah dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia pada abad ke-7 hingga 10. Sekarang kegiatan perkapalan dipindahkan ke kota terdekat yaitu Da Nang. Padahal di abad 16-17 Hoi An ini menjadi pelabuhan internasional yang sibuk.

Tahun 1999 Hoi An menjadi bagian Warisan Budaya Dunia UNESCO. Vietnam mati-matian menjaga dan memelihara Kota Tua ini. Setelah mendapatkan penghargaan dari UNESCO, turis berbondong-bondong datang ke Hoi An. Padahal sebelumnya Hoi An terlupakan kejayaannya sebagai kota pelabuhan utama.

Untuk keliling Kota Tua Hoi An cukup jalan kaki atau sewa sepeda onthel. Pembaca sudah tahu kalau saya pasti lebih memilih jalan kaki. Lagipula memang kecil sekali areanya, thawaf tujuh kali di Hoi An pun saya langsung khatam dan pasti mabrur. Serunya di sini semua area Kota Tuanya terkoneksi dengan jaringan wifi gratis. Atau bisa juga sewa perahu untuk susur sungai.

Saya membayar 120.000 Dong atau sekitar 70.000 Rupiah untuk keliling area kota tua. Sebenarnya nggak perlu mengeluarkan biaya kalau hanya berkeliling dan jalan santai. Namun untuk masuk tempat-tempat tertentu seperti museum dan rumah tua diwajibkan beli karcis terusan. Untuk menyebrang Jembatan Jepang (Japanese Covered Bridge) ada tiket lagi yang harus dibayarkan. Foto dari luar jembatan sebenarnya sudah cukup, tapi dikarenakan Japanese Covered Bridge yang dibangun tahun 1590an merupakan spot yang paling ikonik dan wajib dikunjungi di Hoi An. Jadilah saya masuk dan menyebrang jembatan tersebut. Perasaan saya biasa saja setelah menyebrang jembatan tua ini.

Japanese Covered Bridge yang ngehits

Pintu Masuk Japanese Covered Bridge

Bangunan-bangunan tua di sini kebanyakan berarsitektur dan berunsur Tionghoa, ada juga yang bergaya Prancis. Banyak rumah yang disulap jadi kafe dan toko-toko kerajinan tangan. Setiap sudut di Hoi An sangat fotogenik sekali. Saya masuk ke beberapa kelenteng dan rumah tua yang disulap menjadi museum. Agak begitu mengecewakan karena koleksi museumnya sedikit dan kurang informatif.

Pose dulu

Di salah satu rumah ada pertunjukkan tari tradisional rakyat Vietnam. Kalau tidak salah ada dua kali pertunjukan setiap hari. Meskipun pertunjukkannya menggunakan bahasa lokal tetapi pembawa acara menjelaskan kepada penonton tentang tari-tarian tersebut dalam Bahasa Inggris, sehingga pengunjung asing bisa mengerti. Setelah menyaksikan tari tradisional saya beranjak pergi jalan kaki menuju terminal dan meninggalkan syahdunya Hoi An ke kota berikutnya yaitu Da Nang.

Jalan-jalan di Kota Tua Hoi An saya jadi teringat akan Lasem di Rembang, Jawa Tengah, yang berambisi besar untuk menjadi bagian UNESCO. Saya tidak ingin membandingkan tapi secara kemasan Hoi An seratus lebih baik dari Lasem. Bangunan-bangunan di Hoi An masih terjaga dan terpelihara dengan baik sesuai bangunan aslinya sejak dulu. Sedangkan di Lasem banyak yang sudah berubah. Lantai-lantai rumah tua di Lasem saja sudah banyak yang berkeramik. Mungkin hanya pagar luar rumahnya saja yang masih asli. Tapi kita harus optimis, siapa tahu Lasem bisa mengejar Hoi An dan berbenah menjadi Warisan Budaya Dunia UNESCO.

Happy Traveling!

43 KOMENTAR

  1. mana foto kamu sama si turis jepang itu sinyo? kok berasa biasa aja menyebrang jembatan.. siapa tahu kamu bisa jadi alid simanis jembatan Hoi An :p

    Lasem… masih dalam bucket list ke sana.

    • Pake kamera dia dong ah, yang artis kan aku :p
      Aku sudah manis meski gak menyebrang jembatan.

      Hlah kemarin kenapa gak sekalian ke Lasem coba. Kan udah di Jawa.

      Nanti mbok ya libur sebulan keliling Jawa.

  2. Terlepas dari obrolan kamu tentang nikah mas, aku suka foto-fotomu yang di dalamnya ada sepeda. Dari dulu niat kalau main ke Negara tetangga, aku pengen sepedaan. Kalaupun nanti ada operasi polisi kan aman, bisa lambaikan tangan sambil bilang “nuwun sewu, kulo bade lewat nggeh” Hahahahahha

  3. Kalo cm liat foto, aku bakal pikir ini di china, bukannya hoi an :D.. Salut ya ama vietnam, niat bgt menjaga kota tuanya sampe bisa masuk heritage unesco. Kapan indonesia begitu..

    Ditunggu cerita da nang nya jg mas. Kamu ga sekalian da lat kah? Aku pgn ksana krn termasuk kota di vietnam yg sejuj :D. Banyak bunga2..

  4. Foto dari luar jembatan sebenarnya sudah cukup, tapi dikarenakan Japanese Covered Bridge yang dibangun tahun 1590an merupakan spot yang paling ikonik dan wajib dikunjungi di Hoi An. Jadilah saya masuk dan menyebrang jembatan tersebut. Perasaan saya biasa saja setelah menyebrang jembatan tua ini.

    SAMAAAAA! Aku malah sering kejedot di sana. Kan malesin ya

  5. La ngene lah nek nulis artikel blog iku. Meski, beberapa hal masih slapstick, tapi insight dari kisahnya mengena banget. Aku juga baru ngeh klo ini dulunya Champa yang ada di kisah-kisah Saur Sepuh itu. Bangunannya emang China banget sih. Macam kalau di Thailand bakal ‘mabuk’ kuil, klo di mari bakal ‘mabuk’ bangunan yang mirip-mirip antara kelenteng sama kuburan.

    Btw, sukak sama foto-fotonya. Itu motonya pake kamera apaan ya? Dieditnya pake aplikasi apa? wkwkwk

    *ditapuk* πŸ˜€

    • Aduh kak aku kan blogger suka-suka, gak paham insight, gak paham mengena, apalagi slap, slap iku ditapuk ta wkwkwkw.

      Di Danang malah ada Champa Museum loh πŸ™‚

      Ini ngeditnya pake sutil gowang :p

  6. Aku malah penasaran dengan foto rumah yang disulap jadi kafe dan toko-toko kerajinan tangan yang kata kakak ‘mabelas tahun dan belum kepikiran married ini’ fotogenik.
    .
    .
    oh ya fotonya kerennnn Lid πŸ™‚

  7. Peninggalan Champanya masih ada nggak Mas? Sepertinya sudah banyak ditutup dengan pengaruh Tiongkok ya, hehe. Yang pada gilirannya jadi peninggalan sejarah juga sebab masa pembangunannya dari sekarang cukup jauh. Sepakat dengan teman-teman, fotonya keren banget euy. Mau dong diajari bagaimana tips dan triknya supaya bisa menghasilkan foto seperti itu Mas, hehe. DIlihat-lihat dari foto-foto di sini sepertinya Hoi An bersih juga ya kotanya.

    • Bisa dikatakan sudah nggak ada peninggalan Champa sama sekali hiks. Tapi tenang nanti di tulisan edisi Danang saya ke Museum Champa kok πŸ˜€

      Hoi An bersih di bagian kota tuanya doang ini, karena banyak turis ehehehe. Di luar area itu so so lah πŸ˜€

      Aduh aku merasa tersanjung. Yuk sini kita sharing bareng fotografi πŸ˜€

      • Wah, Museum Champa. Semoga saya bisa membaca tulisan Mas mengenai museum itu.
        Terima kasih, terima kasih, mudah-mudahan dalam waktu dekat kita bisa bertemu ya.

  8. Kota kotane instagram-able banget. Sebagai calon selebgram masa kini masa mendatang dan masa bodo saya jadi pengen ke sana.

    Seru pisan koyok e muter kota jalan kaki atau sepedaan ngono. Berarti Hoi An cuilik dong ya. Paling sak Jombang gak sampe yak mas?

  9. Wkwk kadang pergi sendiri itu lebih menyenangkan mas, karena bisa atur waktu sak karepe dewe.

    Oh murah juga ya kalo tiket terusan cuma 70k.

    Sepertinya bangunan tua kalo di Luar negeri itu lebih keramut deh, dan orangΒ² memang berniat menjaga beneran dan gak gampang menjual tempatnya.

Tinggalkan Balasan ke Indah Julianti Sibarani Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here