Menghabiskan Waktu di Yangoon

37

Yangoon sebagai ibukota Myanmar bagi sebagian besar turis hanya sebagai pintu masuk saja dan lebih memilih kota lain sebagai tujuan wisata. Sama seperti saya dan Jard yang di hari pertama begitu mendarat di bandara internasional Yangoon langsung kabur ke Mandalay di utara. Tapi di hari-hari terakhir di Myanmar kami menginap semalam di Yangoon di hostel murahan dekat dengan Sule Paya (Paya=Pagoda).

Sarapannya Mie Sup

Yang kami lakukan seharian di Yangoon adalah jalan kaki santai dari pagi sampai malam, kami memulai dengan sarapan noodle soup di kaki lima di depan hotel. Selesai sarapan kita menyusuri bangunan-bangunan kolonial khas Inggris di sekitar Mahabandola Garden. Yang suka dengan bangunan-bangunan kolonial bisa memanjakan mata di sini, beberapa bangunan yang terlihat besar masih terawat dan difungsikan sebagai kantor-kantor pemerintahan seperti kantor Imigrasi, Pengadilan Negeri, dan lain-lain, Gereja juga ada.

Puas menyusuri wilayah kolonial kami kembali ke Jalan Mahabandola, nggak nyangka di daerah ini adalah pemukiman peranakan India, di jalan Mahabandola dan sekitarnya banyak sekali restoran India serta orang-orang berperawakan khas India lalu-lalang. Yang mengherankan terlihat beberapa kubah masjid yang saling berdekatan di beberapa gang. “Sunni Masjid and Syi’ah Masjid” kata orang tua di jalan yang saya tanya kenapa banyak masjid yang berdiri.

Yang suka belanja ala kaki lima menghabiskan uang di open-air market sepanjang jalan nomor 26, yang bikin terkejut adalah banyak dijual batik Indonesia. Entah itu asli atau bukan karena saya bukan ahli perbatikan tapi batik yang dijual berlabel “Made in Indonesia” “Batik Keris” “Batik Solo” “Batik Sri Ratu”. Nggak heran kalau jalan di Yangoon berasa seperti jalan di Yogyakarta, karena banyak emak-emak pakai kain batik Indonesia di jalanan, begonya kenapa saya lupa tanya harganya.

Dan satu pasar paling terkenal di Yangon yang wajib dikunjungi adalah Bogyoke Aung San Market, tujuan saya hanya mencari kaos bertuliskan Myanmar tapi nyatanya dari sekian ribu toko yang jual kaos untuk turis hanya 2 toko. Itupun saya tahu dari mas-mas yang ngotot ngantar saya ke toko penjual kaos dan akhirnya dia nawarin batu akik. Saya pikir saya ditipu sama dia karena nggak mau beli akiknya, nyatanya memang tidak ada lagi penjual kaos bertuliskan Myanmar di Bogyoke, malahan dia kasih tahu kalau ada penjual kaos murah bertuliskan Myanmar di seberang jalan pasar, dan memang benar ada. Jadi yang ingin cari kaos Myanmar mending sempatkan beli di Bagan deh.

Sehabis dari pasar kami mengunjungi makam seseorang yang dilupakan dan hampir tidak ada turis yang mengunjungi makam tersebut. Adalah makam Raja terakhir dari Dinasti Mughal di India, Bahadur Shah Zafar pada tahun 1858 dibuang dan asingkan ke Burma oleh Pemerintahan Inggris yang saat itu menjajah India dan juga Burma (Myanmar sekarang). Awalnya saya ragu untuk masuk karena sepi, tapi begitu saya lepas sepatu ada seorang yang menyambut saya dan menerangkan segala macam tentang Shah Zafar. Ternyata beliau adalah imam Masjid tersebut yang juga merangkap sebagai juru kunci. Di Masjid lantai atas terdapat 3 makam yang merupakan istri dan kedua anak dari Shah Zafar. Terpajang foto-foto kunjungan dari beberapa tokoh penting India yang pernah singgah. Imam kemudian mengajak saya ke bagian bawah masjid yang terdapat makam dari Raja terbuang tersebut. Imam memimpin doa dan kami baca Al-Fatihah sama-sama, selanjutnya adalah Imam meminta donasi. Entah karena saya memberikan uang yang tidak begitu besar jumlahnya kami langsung ditinggal begitu saja, Assalamu’alaikum.

Dari makam kami melanjutkan jalan kaki ke tempat paling terkenal seantero negeri, Shwedagon Paya (Pagoda Shwedagon). Pertama kali saya melihat pagoda tersebut dari film The Lady yang dibintangi Michelle Yeoh dan ternganga karena begitu besarnya. Untuk masuk ke pagoda tersebut orang asing harus membayar 8 dolar, di hari-hari terakhir saya di Myanmar duit sudah begitu mepet terpaksa saya berpura-pura menjadi orang lokal untuk menghindari bayar tiket, dan Jard saya tinggal di belakang karena pakai hijab, beruntung dia juga lolos dari kewajiban membayar tiket ahaha. Ketika para bule belok ke loket tempat tiket dijual saya lempeng jalan lurus saja memasuki pemeriksaan X-Ray, saya diam dan mengangguk saja walau petugas mengajak bicara dalam Bahasa Burma. Begitu lolos X-Ray pemeriksaan saya langsung ngibrit masuk ke area pagoda hahaha. Di dalam pagoda belum tenang rasanya melihat para polisi turis berkeliaran, takut kena cek saya hanya diam di pojokan haha. Duh maafkan saya. Tapi jangan harap lolos kalau masuk dari pintu utara karena pemeriksaannya lebih ketat lagi.

Sejarah mengatakan Pagoda dengan kubah raksasa keemasan setinggi sekitar 98 meter tersebut sudah berumur 2500 tahun dan dibangun pada abad ke-4, tapi beberapa arkeolog mengatakan bahwa stupa tersebut dibangun antara abad ke-6 sampai abad ke-10, saat ini tentu saja sudah berkali-kali dipugar karena rusak yang diakibatkan bencana alam dan lain-lain. Yang ingin lebih tahu tentang Shwedagon ada ruangan khusus seperti museum berikut foto-fotonya juga dipajang di dalamnya. Nggak heran kalau tempat ini begitu terkenal di Myanmar, seperti Mekkah bagi umat muslim, Shwedagon adalah tempat suci untuk umat Budha dan banyak sekali saya melihat turis-turis Cina dan Thailand serta orang-orang lokal dari pedalaman Myanmar datang untuk wisata sambil beribadah.

Begitu besarnya pagoda tersebut membuat saya penasaran untuk berkeliling beberapa kali putaran sambil mengamati orang-orang berdoa, saya lihat ada Pojokan Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu. Mungkin dimaksudkan kalau hari tertentu berdoanya di pojokan tertentu, nyatanya saya lihat banyak yang berdoa di berbagai tempat. Saya istirahat sambil menunggu malam di sini sambil wi-fi-an dan menyiksa Jard untuk memotret saya berkali-kali di Shwedagon untuk gambar terbaik, katanya kalau malam akan lebih indah karena pendaran cahaya pagoda yang keemasan menyinari sekeliling. Dan memang pemandangan malam dalam pagoda begitu menyihir.

Sebenarnya masih ada tempat menarik di Yangoon seperti Kandawgyi Lake tapi itu danau buatan tengah kota jadi saya tidak tertarik tapi Jard ngotot ngajak saya ke sana, dan saya menyesal tidak ke sana karena ternyata ada bangunan keren bernama Karaweik yang berfungsi sebagai hotel dan restoran mengapung dan baru ingat bahwa Karaweik yang pernah diulas program jalan-jalan salah satu tivi nasional. Always travel safe and happy traveling!!!

37 KOMENTAR

  1. mari delok blog iki mesti ngiler2, garai pengen mlaku2 rek, koyoke wis sak asia tenggara mari bok jelajahi kabeh yo lid?

  2. akhirnyaa, aku sempat membaca post ini dek Alid, jadi selamat yah telah mengunjungi myanmar..
    potonya narsis-narsis euoyy!!

  3. Baca komen pertama, wah dirimu ini ternyata gak sendiri toh? Woh ya pelanggaran kuwi nek travelmate mu gak mbok ceritakne hahaha..

    Btw, yangoon sama jekardah koyoke bedo adoh ya jalan rayanya. Koyoke sih gak seribet jakarta.

    Btw, lha kaose endi? Sido tuku po ra?

  4. biyuuh biyuuuh jian tulisan sing nggudo makarake kepingin wae sampean kie Kang.
    Kalo ndik sana ada tempat pojokan doa berdasarkan hari, lek ndik kene malah jadi jenenge pasar, pasar senin, pasar seloso lan sak teruse

    • Kebanyakan Chinese food sm Indian kakak, kan emang terpengaruh dari sono, tapi waktu di Mandalay sempet buffet di restoran lokal, mantap surantap ^^ street food jg mayan banyak kok 🙂

  5. kalau kesana lagi, sekalian jualan batik aja lid. kulakan di pasar klewer. hehe

    bangunan kolonialnya masih terjaga ya disana. jadi pengen ke myanmar. mumpung sudah bebas visa

Tinggalkan Balasan ke Alid Abdul Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here