Bertamu ke Rumah-rumah Tua Tionghoa di Lasem

Alas Asem, Lao Sam, Bhre Lasem. Entah versi yang mana yang harus saya jadikan pegangan cikal bakal nama Lasem yang merupakan kota kedua terbesar di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Konon Bangsa Tionghoa mendarat pertama kali di Jawa adalah di Lasem tapi menurut catatan pasukan Mongol di bawah kepemimpinan Kubilai Khan datang ke Jawa pada abad ke-11 untuk menyerang Kerajaan Singasari mendarat di pesisir Tuban. Mungkin saking banyaknya pasukan yang dibawa dari Mongol yaitu sekitar 20.000-30.000 orang, parkir kapalnya hingga Lasem. Setelah Mongol, datanglah rombongan Laksamana Cheng Ho ke Jawa pada abad ke-13 tapi tidak diketahui kali pertama mendarat di mana.

Lasem bukanlah tujuan wisata pada umumnya yang bisa mengundang orang untuk datang. Hanya sekelumit orang yang suka dengan sejarah bisa menjadikan Lasem sebuah destinasi kunjungan menarik. Letaknya yang di jalur pantura menjadikan Lasem mudah untuk dijangkau dari mana saja. Tapi tidak mudah untuk jalan-jalan di Lasem, sebab tempat yang ditawarkan tidak dibuka untuk umum. Harus dengan seorang pemandu yang merupakan orang Lasem untuk bisa mblusuk masuk ke tempat-tempat yang telah disiapkan untuk dieksploitasi. Beruntung ada Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Karangturi yang mengakomodir kebutuhan wisatawan yang berminat ke Lasem.

Saya sudah janjian di Masjid Jami’ Lasem dengan salah satu pemandu dari Pokdarwis Karangturi yang akan menemani saya keliling Lasem. Setelah bertemu, saya diantar ke Rumah Merah yang merupakan basecamp Pokdarwis Karangturi untuk menitipkan ransel. Di Karangturi inilah berjejer rumah-rumah kuno Tionghoa dengan cirinya yang bertembok pagar tebal nan tinggi dan pintunya yang bergaya Tionghoa banget dan tulisan kanji yang mungkin adalah nama keluarga dari penghuni. Rumah-rumah tua itu bertahan berdiri dengan tambal sulam, terbengkalai, hingga yang hanya tinggal pagar temboknya atau pintunya saja yang di dalamnya sudah digantikan bangunan modern.

Opa

Saya diajak masuk ke rumah Lo Geng Gwan atau biasa mereka memanggilnya Opa. Dahulu bagian belakang rumah ini adalah pabrik batik di awal abad ke-20, sekarang kondisi rumah ini begitu menggenaskan. Barang-barang bekas bertumpuk dan berdebu setebal beberapa milimeter tergeletak di sembarang tempat. Saking banyaknya barang tergeletak, rumah ini kesannya menjadi begitu sempit dan sesak. Opa yang tua dan tidak menikah tinggal bersama sepupu perempuannya Oma yang saat ini sudah tidak bisa ngapa-ngapain. Mandi saja di bantu Mbak Minuk asli Tuban yang sudah ikut di keluarga mereka sejak puluhan tahun. Opa dan Oma, orang akan berpikir kalau mereka adalah suami istri.

Saya nggak kuat berlama-lama di sini melihat orang tua renta di rumah yang kondisinya tidak terawat begini tanpa sanak kadang. Saya tidak mau masa tua saya nanti seperti mereka, duh saya jadi membayangkan yang tidak-tidak. Setelah mengucap pamit ke Opa saya segera pergi dengan menahan sesak di dada, mau nangis rasanya. Duh saya jadi cengeng begini T___T

Oma Christina

Lain lagi Oma Christina yang rumahnya masih terawat bersih dengan perabotan yang sudah uzur sesuai penghuninya. Meskipun Oma Christina berkeriput tapi masih tahes dan kelihatan cantik. Anak-anak Oma banyak yang merantau di kota-kota besar, sebut saja Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Pulang dan kumpul keluarga saat Hari Raya Natal saja. “Saya nggak mau ikut anak,saya suka tinggal di Lasem sini saja,” jawab Oma ketika saya tanya kenapa nggak ikut anak saja. Daripada memperhatikan detail rumah tua yang disajikan, saya lebih banyak mengobrol dengan pemiliknya.

Kebiasaan orang Tionghoa sejak zaman dahulu adalah menghisap opium atau candu. Akibat barang haram tersebut negeri Tiongkok dilanda krisis karena banyaknya pecandu hingga pecah perang candu dua kali di abad 17. Barang terlarang itupun masuk ke Indonesia dan Lasem dengan mayoritas Tionghoa tentu saja jadi tempat perdagangan candu. Di rumah yang dinamakan Lawang Ombo inilah aktivitas penyelendupan dilakukan. Di samping rumah ini ada semacam lubang terowongan ke sungai Lasem untuk menyelendupkan candu dari pasukan Belanda. Candu itu memang racun dan mematikan, apalagi candu asmara.

Rumah Candu

Rumah-rumah tua Tionghoa di Lasem terancam keberadaannya. Para pemiliknya pergi meninggalkan Lasem tanpa menengok lagi dan menitipkan rumahnya kepada orang yang sekiranya mau menghuni dan merawat. Beberapa telah direnovasi dengan penambahan keramik modern seperti rumah-rumah sekarang pada umumnya. Buat apa dan siapa untuk mempertahankan kekunoan itu? Sementara pemiliknya tidak sudi mengeluarkan sepeserpun biaya pemeliharaan yang tidak menguntungkan bagi mereka.

Saya membayangkan Lasem seperti Melaka dan Georgetown di Malaysia, atau Hoi An di Vietnam yang sudah masuk daftar UNESCO sebagai World Heritage. Jaipur dengan kotanya yang serba pink, atau Jodhpur di India yang rumah-rumahnya dicat seragam biru yang memang sengaja dibiayai pemerintah untuk konservasi. Tapi siapa yang peduli dengan bangunan tua di Lasem?

Alid Abdul

Travel Blogger asal Jombang yang hobinya traveling dengan gaya backpacker. Blog ini adalah kumpulan cerita dari mimpi-mimpinya yang menjadi kenyataan.

View Comments

  • aku suka melihat hal hal vintage dan bernuansa heritage ..salah satunya lihat Lasem. Pernah denger tapi baru ini lihat gambaran langsungnya, btw soal Opa aku juga merasa iba lho...jangan sampe aku tua tinggal di rumah dengan perabotan berantakan gitu... masa senja. aku menikmati hasil photo mu lho broh. keren.

    • Di Lampung sendiri komunitas Tionghoa atau pecinannya ramai nggak om? Kalau ke Jawa Tengah nanti sempatkanlah mampir di Lasem :)

  • Selalu suka sama Lasem. Bikin rindu. Kemarin cuma bisa lewat tanpa mampir karena udah malem.
    Dulu main ke Lasem, belum ada Kelompok Sadar Wisata Karangturi, rumah merah pun blom dibuka untuk umum.
    Cuma sempet ke rumah opa aja. Semoga bakal punya kesempatan ke sini lagi. Semoga sejarah Lasem pun ga akan terlupakan.

    • Nah itu yang jadi kesusahan Lasem, harus dengan pemandu. Ke kelenteng saja kadang buka kadang tutup. Jadi kapan ke Lasem lagi? Yuk kita kopdar lontong tuyuhan :D

      • Aku dulu sama Mas Pop dipandu nya. Hmmm harus dirancang khusus ke Lasem bukan ga sengaja mampir emang demi menikmati warisan lasem

  • aku belum masuk lawang ombo keburu pulang buahahaha..
    kok yo papasan karo artise jombang nang rumah tegel ga nyadar aku hahaha

    • Tuh kan, aku yakin itu kowe di Rumah Tegel itu. Kowe sih, tahu gitu tak salami dan tak todong lontong tuyuhan haha

  • Saya ada rencana mau main ke sini. Sepertinya jauh lebih asyik kalau mengeliling Lasem naik sepeda. Tiba-tiba saja terpikirkan berkeliling naik sepeda sembari belajar sejarah tentang Lasem.

  • mau komen seperti kalimat penutup dan ternyata malah sudah ditulis sekalian, walau belum pernah ke Lasem atau Penang Malaysia, tapi ya agak mirip tapi beda nasib *tanda kutip*

  • Rumah opa oma :(

    Karena di rumah aku juga merawat para mbah, jadi kebayang rasanya jadi opa-oma yang menua dalam sepi :(

  • belum pernah ke sana, walaupun terlihat nggak seindah kota lain yang kk sebutkan itu, rasanya ini tempat yang bakal memorable banget ya kalau dikunjungi. aku pengin ke sana suatu hari nanti

  • Jadi turut merasa bersalah melihat Lasem merana seperti itu. Sepertinya beda banget dengan bagaimana pengelolaan wisata di negeri tetangga. Kalau melihat keadaan seperti ini rasanya seperti menyia-nyiakan makanan enak dan membiarkannya basi. Sekarang saya cuma punya harapan (egois) supaya saya bisa bertandang ke sana sebelum makanannya benar-benar basi. Sebelum semua bangunannya hilang.
    Soal nama Lasem, saya pikir semuanya benar, haha. Lasem memang daerah yang begitu penting di masa lalu. Sehingga ketika kini ia cuma menjadi kota kecamatan dengan bangunan reyot, artinya ada kesalahan besar.

    • Ibarat makanan kenapa nggak dikasih formalin ya hehehe. Penghuni keturunan keluarga yang asli sudah pada renta. Beberapa dihuni orang-orang Jawa yang diserahi untuk merawat dan tinggal bersama keluarganya. Sementara kalau direnovasi dengan mempertahankan bentuk aslinya otomatis biayanya bisa dua kali lipat daripada merobohkan dan bangun baru. Ya kita hanya bisa berharap suatu saat ada yang mengelola dengan baik.

      • Iya, kalau renovasi dan mengusahakan agar kualitas bangunan kembali sama dengan masa lalu tentu ongkosnya sebesar Gunung Semeru, Mas. Amin, semoga makin banyak yang peduli ya.

  • Kalo baca postingan-postingan di sini jadi seolah-olah sedang ikut jalan-jalan.
    Itu TV dan yang lainnya antik semua...
    Hmm kapan yo bisa nunut ke Lasem

Share

Recent Posts

Reuni di Gunung Tanggung

"Hid weekend ini nganggur nggak? Kamping yuk!" Saya mengontak seorang kawan bermain saat kecil dahulu,…

Maret 1, 2021

Oh Ranu Kumbolo

Tahun 2020 sungguh ambyar pokoknya, ajuuuuuur juuuuuuummm. Apalagi kalau bukan karena Koronamaru. Semua mimpi dan…

Februari 24, 2021

Danau Toba, Saya Datang!

“Cabin crew, prepare for landing!” Begitu pilot mengumumkan akan segera mendarat, saya langsung menegakkan sandaran…

Juli 27, 2020

Mencret di India

Saya melewatkan sarapan di hostel karena jam makan pagi adalah jam 9, yang bagi saya…

Juli 21, 2020

Kepanasan di Udaipur

Banyak plang-plang bertuliskan "Watch Octopussy Movie Every Evening 7 pm" di gang-gang jalanan Udaipur. Film…

Juni 10, 2020

Kangen Jogja

Hari ini adalah Lebaran hari ketiga, sumpah Lebaran tahun ini sungguh sangat aneh. Beberapa masjid…

Mei 26, 2020