Dilwalon Ki Dilli

43

Ada ungkapan untuk menggambarkan kota Delhi. Dil walon ka Dilli, Delhi adalah milik orang-orang yang berhati besar. Sebagai bukan orang India, tentu saja saya nggak tahu asal muasalnya ungkapan tersebut. Konon ungkapan tersebut sudah ada sejak zaman dahulu. Menilik dari artinya, kemungkinan ungkapan tersebut menggambarkan orang-orang Delhi yang ramah dan santun. Nyatanya Delhi itu kejam baik terhadap pendatang maupun penghuninya.

Coba saja jalan di sekitaran Chandni Chowk saat pagi hari sebelum jalanan ramai. Ada pemandangan yang membuat saya miris dan menahan sesak. Sepanjang jalan banyak orang berbaris dengan berdiri, ada yang sambil duduk, bahkan ada yang tiduran di pinggir jalan. Pakaiannya lusuh dan bau, sepertinya mereka tidak mandi beberapa hari. Banyak dari mereka kakinya dipenuhi borok dan luka parah di kaki, kelihatannya penyakit kusta. Saya sampai ngilu nggak tega, bahkan saya tidak berani mengeluarkan kamera dan mengambil gambar.

Saya percepat jalan dan pergi, tetapi barisan orang yang antre seperti tidak ada habisnya. Terlihat dari kejauhan ada dokter dan perawat yang memeriksa mereka. Kemungkinan mereka memberikan pelayanan gratis. Dalam hati saya merutuki nasib, betapa beruntungnya saya yang punya privilege bisa traveling seperti ini. Tetapi merasa hidup masih tidak adil, sambat melulu. Delhi kejam terhadap kehidupan para penghuninya.

Dalam epik Mahabharata, Delhi dikenal dengan nama Indraprastha, tempat di mana Pandawa tinggal. Delhi pernah dikuasai banyak raja-raja paling berpengaruh dalam sejarah India. Silih berganti kota ini memiliki penguasa. Dari mulai Raja Hindu hingga Sultan Muslim, dari mulai pemimpin yang bijak sampai yang bengis. Jatuh pula ke tangan Kerajaan Inggris yang awalnya hanya berdagang dan akhirnya menguasai seluruh India.

Ibaratnya tanah di Delhi bau darah perjuangan, pengorbanan, dan kesetiaan para penghuninya. Sepertinya memang Delhi dikutuk oleh dosa masa lalu. Jadi siapapun yang hidup di kota ini seperti dipaksa harus berjuang tanpa henti. Hidup di kota dengan populasi terbesar nomor dua di dunia setelah Tokyo memang sangat berat. Insfrastruktur yang kurang memadai serta polusi udara yang semakin memperparah kondisi kota bersejarah ini.

Saya pribadi nggak ada pengalaman buruk di Delhi. Hanya hampir saja jadi korban pencopet di subway. Waktu itu ada yang merogoh kantong celana saya. Beruntung celana saya sedikit ketat, sehingga menyulitkan pencopet. Yang paling tidak manusiawi adalah tiket masuk tempat wisata di Delhi. Sekali masuk bisa Rp100.000,- sendiri, sementara warga lokal hanya bayar Rp6000,- saja. Jadi saya hanya pilih beberapa lokasi tempat wisata saja yang sekiranya sepadan dengan uang yang saya keluarkan. Delhi kejam terhadap turis dengan mematok tiket masuk hampir 100% dari warga lokal.

Meski sudah mengira akan sepadan, tetapi saya sungguh kecewa saat masuk ke Red Fort. Dalamnya memang luas dan bikin kaki gempor. Meski termasuk dalam UNESCO World Heritage Site, tetapi bangunan-bangunannya sungguh membosankan. Hampir tidak ada yang fotogenik di mata saya. Dari sekian bangunan hanya gerbang depan saja yang kelihatan menarik untuk difoto. Itupun backlight ketika saya berada di sana. Harusnya saat sore hari menjelang matahari terbenam mungkin akan tampak cakep.

Humayun Tomb

Saya paling terkesan dengan Humayun Tomb, meski awalnya sempat ragu mau masuk dengan alasan tiketnya mahal. Tetapi mata saya terbelalak melihat bangunan berwarna merah yang megah dan cantik luar biasa. Saya langsung teringat lagu Bol Na Halke Halke dari film Jhoom Barabar Jhoom yang dibintangi Abhishek Bachchan dan Preity Zinta. Kalau dipikir-pikir Humayun Tomb termasuk sering dipakai untuk syuting film-film Bollywood. Sebut saja; PK, Bajrangi Bhaijaan, Mere Brother Ki Dulhan, Faana, Kurbaan. dll. Dan rata-rata dibuat syuting untuk adegan-adegan lagu romantis.

Nggak salah memang, bangunan ini juga berdiri karena bukti cinta Ratu Bega Begum kepada suaminya Sultan Humayun yang merupakan Sultan Mughal kedua. Mengadopsi arsitektur Persia, kuburan yang didominasi warna merah ini dibangun 9 tahun setelah Sultan Humayun wafat. Selain bangunan utama makam sang sultan, ada bangunan-bangunan kecil yang juga merupakan makam. Semuanya sangat fotogenik dengan keunikan masing-masing. Selain Humayun Tomb, saya juga ke Qutub Minar yang cukup sepadan dengan harga tiket masuknya. Postingan tentang Qutub Minar bisa baca di tautan ini.

Selain yang berbayar saya juga mengunjungi beberapa tempat gratisan seperti Dargah Hazrat Nizamuddin Aulia. Dargah adalah makam yang dibangun untuk ulama, sufi, atau figur orang yang dianggap mulia. Kalau di sini semacam makam-makam wali. Untuk masuk ke Dargah harus melewati lorong-lorong kecil rumah warga. Alas kaki harus dilepas sejak masuk lorong yang lumayan panjang. Karena takut hilang, sepatu saya bawa masuk dan saya simpan di kantong plastik. Debu tebal menempel di telapak kaki saya. Belum lagi saya melihat tikus-tikus besar berkeliaran. Maklum saja lokasinya memang di tengah pemukiman yang rumit.

Banyak peziarah yang datang, lantunan doa bertalu-talu. Suasananya sungguh khidmat. Saya sampai nggak berani mengeluarkan kamera. Saya lupa apakah ada aturan untuk tidak boleh mengambil foto, atau semua mata memandang saya karena perawakan dan penampilan tidak seperti mereka pada umumnya, padahal saya pakai baju kurta. Lagipula nggak ada yang bisa difoto di sini, sempit dan banyak orang. Ngebet ke sini hanya karena pengen ke lokasi syutingnya film Rockstar saat lagu Kun Faya Kun berkumandang. Sebenarnya juga saya ingin menyaksikan pertunjukkan Qawwali yang digelar setiap jam 5 sore, sayangnya saya salah jam berkunjung hiks. Qawwali adalah pentas musik sufi Islam berisi puji-pujian terhadap pencipta dan juga nabi. Beberapa film Bollywood banyak yang menampilkan musik Qawwali, jadi penasaran bagaimana pentas aslinya.

Atmosfer Dargah Hazrat Nizamuddin Aulia kontras sekali dengan Lotus Temple yang tenang dan damai. Pengunjung diwajibkan berbaris tertib untuk masuk ke tempat ibadah Agama Baha’i yang lahir di bumi Persia. Sesuai namanya, bangunan ini mirip dengan teratai. Nggak ada yang bisa dilakukan di kuil ini kecuali hanya duduk tenang di bangku tanpa bersuara sedikitpun. Ada yang berisik sedikit, petugas langsung mengingatkan. Untuk sampai ke ruang utama kuil ini ada kuotanya dan harus mengikuti pemandu. Meski ramai pengunjung di luar, kesunyian dan ketenangan di dalam kuil sangat dijaga ketat. Padahal di dalam juga tidak ada yang sedang beribadah.

Saya juga mampir ke masjid yang berusia tiga abad setengah yang dibangun oleh Shah Jahan, sultan yang juga membangun Taj Mahal. Arsitektur Jama Masjid merupakan masjid terbaik dari seluruh masjid yang dibangun di era Dinasti Mughal. Keseluruhannya terbuat dari paduan batu marmer dan gamping terbaik. Dan memang benar, masjid ini sangat fotogenik dari segala sisi. Orang-orang Mughal emang jagonya membuat bangunan indah yang simetris.

Masuk ke masjid ini ditarif 300 Rupee atau sekitar Rp58.000,- dan saya sangat benci jika harus membayar tiket untuk masuk ke tempat ibadah apapun di manapun. Tarif segitu sebenarnya untuk biaya kamera baik kamera handphone atau kamera lainnya. Gila saja, mau motret masjid saja harus bayar. Lha wong orang lokal jeprat-jepret di handphone juga tidak ditarik bayaran. Masjidnya ada tiga gerbang masuk, dan tidak ada loket resmi. Jadi siapapun bisa masuk nyelonong tanpa bayar. Orang berperawakan bule tentu saja tidak akan lolos dari biaya tersebut. Dan rombongan turis yang bahkan tidak punya muka bule pun, juga tidak luput dari biaya siluman tersebut. Sama kayak tukang parkir di sini yang petugas parkirnya tiba-tiba nongol ketika mau ambil motor, padahal waktu parkir orangnya nggak ada. Giliran ada turis petugasnya tiba-tiba saja nongol dan nodong tiket masuk. Belum lagi biaya penitipan sandal yang dipatok 100 Rupee atau sekitar Rp20.000,-

Saya tentu saja masuk nyelonong tanpa bayar, sepatu juga saya masukin kantong plastik yang sudah saya persiapkan. Pasang tripod dan foto-foto, ada dua bocah minta difotoin bareng. Kelar foto mereka minta duit, sialan. Tentu saja saya tidak memberi mereka uang. Mereka terus memaksa dan pegang-pegang tangan saya. Akhirnya saya bentak “hath chodo mujhe!” Baru mereka ngacir. Harusnya mereka bangga bisa foto bareng artis Jombang bhuahahaha.

Masjid ini bisa menampung 25.000 jamaah, dan mempunyai empat menara, dua menaranya mempunyai tinggi 40 meter. Untuk naik menaranya harus bayar lagi 100 Rupee. Saya tidak tahu apakah 100 Rupee sudah termasuk 300 Rupee di awal atau tambahan lagi. Lha piye orang saya main nyelonong saja tanpa bayar jadi tidak dapat . Tetapi begitu mendekat pintu masuk menara ada petugas yang jaga dengan pakaian biasa dan mintain duit 300 Rupee. Saya memelas dan memohon untuk tidak membayar, masnya ngeyel saya harus bayar. Dan saya ngeyel juga kalau harus bayar, harus ada tiket resmi. Masnya bilang nggak ada tiket dan bisa langsung bayar ke dia. Saya menolak membayar dan mau pergi dengan bilang kalau duit saya sudah hampir habis huhuhu. Dan akhirnya saya merasakan benar keramahan orang Delhi. Saya diizinkan naik ke atas tanpa membayar sepeserpun. Itupun setelah saya menjual nama saya yang sangat Islami. Wohoooooo. Sekejam apapun Delhi, tetap menyiratkan pesonanya. Saya sih nggak kapok untuk datang lagi ke Delhi. Nggak tahu kalau kamu.

Happy traveling!

43 KOMENTAR

  1. Di negara atau kota dengan jumlah penduduk banyak dan peninggalan religius seperti Delhi ini, kemiskinan dan religiusitas kerap menjadi teman akrab. Permasalahannya selalu sama: kemiskinan, carut marut kota, dan ‘penyakit dunia ketiga’ (baik fisik maupun nonfisik).

    Gak harus di Delhi, di kota-kota kita aja yang ada situs ziarah Wali Songo juga begitu. Pengemis, pungli tiket masuk, dan lain-lain banyak. Bahkan terkesan dibiarkan oleh pemangku kepentingan setempat. Paling males klo ada yang berkedok sumbangan, sedekah, atau apalah itu.

    Ya memang, cara paling efektif adalah kombinasi bentak atau memelas. Dimainkan sesuai kondisi dan kebutuhan. Menunggu pemda setempat, apalagi di Delhi begini sama seperti nunggu hadiah undian.

    India, Nepal, Kamboja yang penuh situs suci ribuan tahun memang indah. Tapi indahnya mengandung ‘ironi’ dan menyimpan masalah sosial. 🙁

    • Omaigaaaaaaddd seksi sekali komennya Sultan Nganjuk satu ini 😀
      Jadi ingat film PK yang menyentil agama-agama suci. Yah jangankan ziarah di kota-kota wali, India, Nepal, dan lain sebagainya. Katanya pengemis di Mekkah banyak yang impor dari negara di luar Arab bhuahahahaha. Jadi ya memang senjata paling ampuh yang membentak, tapi aku kan anaknya alusan gak pernah misuhan :p

      • Kemarin baru liat video di youtube, ada pengemis di Eropa yang disuruh ngucapin syahadat eh gak bisa. Kata si pembuat video kebanyakan orang gipsi yang nyamar jadi orang Islam wakakak, dan pas ke sana, terutama di Paris ya, emang banyak banget pengemis.

        Aku jadi gak nyesel waktu itu gak masuk ke Red Fort hwhw, karena liat foto di buku yang aku bawa emang nampak biasa selain karena waktu gak banyak dan emang mahal juga hwhw. Kalo ke Delhi lagi aku maulah ke Humayun Tomb. Nah ini baru nyesel gak ke sana waktu itu.

        • Jadi ke Delhi ke mana saja om? Aku lupa udah baca tulisanmu yang Delhi belum ahaha. Tetapi emang beneran gak bakalan nyesel ke Humayun Tomb, apalagi sesama penggemar Bollywood. Pasti dijamin akan ngeh dengan lokasi ini. Tjakepnya bukan main sumpah. Mana lumayan sepi lagi.

  2. Ngomongin Masyarakat India memang menarik. Di satu sisi mereka banyak yang berkehidupan bersih, tapi untuk masyakarat umum atau ke bawah, sanitasi lingkungan dan kesehatan sepertinya amat kurang.

    Terlepas dari itu semua, bangunan-bangunan di sana memang menggoda bagi pelancong. Urusan harga tiket, mirip-mirip dengan Indonesia; harga beda untuk domestik dan manca ahahhahah

  3. Wah, Mas Alid ternyata pengamat Bollywood. 😀 Referensinya keren-keren sekali.

    Saya juga terkadang bingung mau ngapain kalau masuk rumah ibadah. Mau lihat-lihat segan, mau ikutan praktik saya nggak ngerti ritualnya seperti apa. Paling banter saya cuma bisa mengagumi arsitekturnya atau layoutnya yang beda dari yang sehari-hari kita lihat di kota sendiri. Maka saya lebih sering melihat-lihat dari luar.

    Btw saya tertarik itu sama rumah ibadah umat Baha’i, soalnya dulu pernah datang acara ngobrol-ngobrol sama umat Baha’i. Sempat melihat peribadatannya kah Mas?

    • Muehehehe dari kecil demen banget nonton film Bollywood, makanya cita-citanya pengen ke India mulu. Dan sudah ke sana tiga kali ehehe.

      Kalau ke tempat ibadah sih paling mentok hanya bisa melihat-lihat saja. Nggak usah sungkan sih, asal sopan. Kalau untuk ritual, saya pernah ikutan free walking tour di Tokyo dengan bayar seikhlasnya. Diajarin sama tour guide untuk berdoa dan memohon di kuil Shinto 🙂

      Waktu ke sana nggak ada sama sekali kegiatan ibadah. Lah wong di tengah Lotus Temple hanya ruangan dengan kursi-kursi saja.

  4. Duuuh jadi semakin ingin jalan sendiri ke India (tanpa guide) hehehehe, biasanya saya nggak begitu tertarik sama India karena pernah ke sana meski bukan jalan-jalan banget tapi pengalamannya nggak begitu menyenangkan :/

    Cuma setelah baca beberapa post mas Alid soal India jadi semakin penasaran. Ditambah foto Humayun Tomb-nya bagus bangattts hahaha. Salut sih bisa foto-foto pakai tripod dengan hasil clean seperti di atas. By the way kalau dikasih kesempatan balik ke India lagi, mau ke kota mana mas? 😀

  5. Heeee apa cm aku yg hampir 3 hari di Delhi cm gegoleran di hotel. Hiks
    Gils, baru sadar gak kemana2 waktu di Delhi. Hahaha

    Jd ikut penasaran sm Qawwali mak. Jadwalin mak, kalo ada promo lg. Ku ngintil 😛

  6. Sewaktu ke Delhi mei 2018 lalu, dulu juga ke Humayun Tomb dan Lotus Temple. kami nggak mampir ke Masiid Jama. Dan bisa dibilang dulu tripnya datar-datar saja. Waktu itu ngetrip rame-rame ala backpacker tapi bak ikut paket tour.

    Humayun Thomb ini juga membuat saya terpesona sama bangunannya. Mantaab survival menghadapi scammer scammernya. Hahaa

    Mas Alid ini pengamat betul yaa sama budaya India.

    Pengen juga suatu saat kalau di kasih kesempatan trip ke India mau menjajal sensasi solotripnya pasti memorable dan bikin ngehe. Btw, foto2nya fantastis!

    • Hahaha itulah saya menghindari ngetrip rame-rame, lagian juga mau berangkat rame sama siapa, lha wong gak punya temen jalan hahaha. Next cobain mas ke India solo trip, dijamin bakalan memorable banget deh. Saya sendiri udah tiga kali, yang pertama bertiga, yang kedua dan ketiga solo trip 🙂

  7. Hahahaha ntahlah mas… Sampe skr kok ya aku blm ada nyali ke India :D. Sempet pengen waktu itu, tapi mundur lagi :D. Terlalu banyak yg bikin keder wkwkwkw… Tapi bukan berarti aku ga bakal ksana. Haruuuslah, ttp masih masuk bucketlisku :D. Walo blm tau kapan eksekusinya ada :p

  8. Ahh kebayang bagaimana jalan di depan nyatanya kemiskinan itu. Entah bagaimana sebuah negara bisa membiarkan warga negaranya seperti itu (dengan kondisi begitu miskinnya mereka).
    Jadi ternyata begitu ya di New Delhi, tidak ramah pada citizen sendiri, dan lebih tak ramah pada pendatang.

    • India mungkin masih lebih baik lagi dengan segala kerumitannya dari pada negara-negara konflik lain yang kurang beruntung. Indonesia India so-so klo dibilang. Sumber daya melimpah baik SDM dan SDA. Cuma ya itu yang ngelola kurang becus. CEO CEO brand terkenal di dunia banyak dipegang oleh orang-orang keturunan India. Ya India tetap menarik dengan segala kerumitannya hehehe.

  9. Yang ada di kepala saya tentang India tuh, Taj Mahal, Mahatma Gandhy (pake y atau i, ya?), Bollywood, SRK, kereta api, penduduknya padat kek Indonesia, Hindu, Mahabaratha, dan … polyandri??

    Senang ya bisa traveling ke manapun mau, lengkap dengan suka dukanya 🙂

    • Poliandri kan cuma di kisah Mahabharata, keknya di dunia nyata di India belum pernah denger hehe. Atau aku yang nggak tahu huhu.

      Makasih sudah mampir baca.

      PS: Gandhi pakai I mbak hehe

Tinggalkan Balasan ke RIFAN JUSUF Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here