Tidak Berjodoh Bertemu Arunika di Pokhara

34

“I’m sorry sir the restaurant open at six”. Duh rugi jendral nginep di hotel bintang tiga tapi nggak bisa menikmati sarapan gratis. Pasalnya saya harus ke Pokhara pagi itu dan bus berangkat pukul enam dari Kathmandu. “We will wrap you some bread and fruit, so you can eat it on the bus,” solusi cerdas dari koki yang sedang masak pagi itu. Tetap saja rasanya nggak rela sarapan prasmanan yang menggoda ditukar dengan dua biji roti, apel, telur rebus, dan pisang. Upil banget.

Seharusnya saya bisa menghemat ongkos penginapan dengan naik bus ke Pokhara malam hari. Namun saya sudah googling sampai keriput nggak ketemu juga bus jadwal malam. Saya baru tahu alasannya setelah beberapa jam dalam bus. Perusahaan otobus di sana meniadakan trayek malam hari dengan alasan keamanan. Jalan raya dari Kathmandu menuju Pokhara seperti jalur Jombang – Malang dengan tanjakan naik turun dan tebing di sisi sebelah. Sempit dan hanya cukup dua jalur saja. Melewati hutan dan saya yakin pasti gelap gulita kalau malam hari. Ngeri saja kalau terjadi kecelakaan. Sudah jalannya sempit, volume kendaraan sangat banyak. Kondisi jalan? Duh banyak yang rusak parah. Jadilah bus yang saya naiki terjebak macet beberapa jam. Dari yang seharusnya tiba di Pokhara pukul 12 atau 1 siang, menjadi pukul 3 sore. Wi-Fi yang dijanjikan sama kenek sama sekali tidak nyambung ke Internet. Jadilah bengong sepanjang perjalanan.

Badan rasanya kaku semua setelah beberapa jam meringkuk dalam bus, maklum busnya sempit. Sampai Terminal Pokhara saya putuskan untuk jalan kaki menuju pusat kota, itung-itung peregangan otot gitu. Bisa jadi itu hanya alasan semata demi menghemat ongkos (baca: kere).

Bersama motor rentalan

Pokhara kota terbesar kedua di Nepal, walau begitu kotanya termasuk kota kecil. Pusat keramaian berada di sisi Danau Phewa. Yang penting saya ketemu KFC di sini, duh ke mana-mana yang dicari KFC mulu. Entah kenapa harga KFC di Nepal lebih mahal daripada di Indonesia. Selain mahal, porsinya juga seupil. Dikit, mana rasanya aneh.

Turis datang ke Pokhara karena di kota inilah starting point pendakian ke Annapurna. Jadi Pegunungan Himalaya yang terbentang dari ujung timur ke ujung barat itu punya gunung-gunung lagi. Ceritanya gunung-gunung tersebut menyambung satu persatu tanpa terputus dan disebut Pegunungan Himalaya. Dan Gunung Everest merupakan puncak tertinggi di bumi ini berada di Lukla di bagian timur Nepal. Kalau Gunung Annapurna terhitung tertinggi nomor 10 di bumi berada di Pokhara ini. Masih ada banyak nama-nama gunung yang susah dieja, lebih dari 100 lebih. Seperti Machapuchare dan Kanchenjunga yang terkenal. Bayangkan negeri seupil yang panjangnya tidak lebih panjang dari Pulau Jawa itu punya banyak gunung.

View Nepal ya gunung dan gunung

Apakah saya trekking naik gunung di Nepal? Antara kepengen mendaki dan bermain salju di puncak dan antara enggak kepengen. Banyak faktor yang memutuskan saya nggak trekking sama sekali di Nepal. Pertama, saya seorang diri, meski ada beberapa teman saya yang trekking solo di Nepal sih. Kedua, saya hanya pendaki ala-ala, seumur hidup hanya empat gunung yang saya daki, ditambah Gunung Bromo yang tinggal kedip sampai di bibir kawah. Namanya juga pendaki ala-ala, mendirikan tenda saja nggak bisa. Peralatan pendakian juga nggak punya sama sekali. Memang di sana banyak yang jual dan menyewakan. Bisa mampus saya kalau nekat mendaki tanpa pendamping dan keahlian bertahan hidup. Sewa porter dan guide? Yakali duitnya cukup buat bertahan hidup seminggu di Nepal saja udah syukur-syukur.

Jadi apa yang saya lakukan di Pokhara? Mengejar sunrise (arunika) di Sarangkot yang paling utama. Sialnya untuk ke Sarangkot nggak ada angkutan kalau berangkat setelah subuh. Jadilah terpaksa saya minta bantu penginapan tempat saya menginap untuk booking taksi. Kesel nggak sih udah dibelain bangun pagi-pagi, mana dingin banget suhu di Pokhara, dan bayar mahal untuk taksi. Boro-boro pemandangan indah saat matahari terbit (arunika), yang saya dapatkan hanyalah kabut asap super tebal mirip asap vapor. Rasanya kudu misuh-misuh. Nggak sampai 30 menit saya di sunrise view point dan meminta supir mengantar saya kembali ke penginapan. Percuma juga saya tungguin matahari, dia nggak bakalan nongol. Sama lelahnya menunggu jodoh tapi nggak juga datang menghampiri. Huvt.

Tim gagal ketemu jodoh

Minimal pernah foto dengan background kabut

Gagal mengejar matahari saya putuskan untuk tidur sebentar sebelum seharian menjelajah Pokhara. Satu-satunya kendaraan yang murah meriah untuk keliling Pokhara bagi jomblo traveler seperti saya adalah sewa sepeda motor. Banyak kios yang nyewain sepeda motor di sepanjang jalan tepi Danau Phewa. Harganya mirip-miriplah dengan harga sewa motor di Yogyakarta untuk sehari. Jaminannya paspor dan deposit uang beberapa ribu. Saya lupa berapa ribu pastinya, toh dikembalikan juga. Masih mending hanya paspor doang, di Yogyakarta dimintai tiga bukti identitas.

Berbekal peta offline yang saya download dari Google Map, saya memacu kuda besi ke arah barat untuk mencari kitab suci. Eh ke Begnas Tal, atau Danau Begnas yang jaraknya sekitar 16 km dari Pokhara. Tanpa kesulitan saya sampai di danau yang cukup sepi. Hanya terlihat beberapa orang lokal saja, itupun nggak signifikan. Atau mungkin saya yang terlalu pagi atau memang biasanya selalu sepi. Kontras sekali dengan perahu-perahu kuning yang jumlahnya puluhan nganggur di tepi danau. Saya yakin perahu tersebut untuk melayani turis yang berkunjung.

Danau Begnas memegang titel sebagai danau terbesar ketiga di Nepal. Perlu di ketahui di Pokhara ini terdapat delapan danau. Dan Danau Phewa di pusat kota Pokhara adalah danau terbesar kedua di Nepal. Saya suka dengan ketenangan di sini, air yang tenang, angin sepoi-sepoi yang sejuk, suara cicit burung yang saling bersahutan tanpa bergaduh. Cocok sekali dengan kepribadian saya yang kalem *digemplang sandal*.

Perjalanan ke Begnas memang tanpa masalah tapi balik ke kota yang jadi masalah. Dekat Danau Begnas ada Danau Rupa. Dilihat dari peta, besarnya mendekati Danau Begnas dan lokasinya hampir berdekatan. Nyatanya saya nyasar ketika saya mencoba mendatangi Rupa Tal. Saking putus asanya saya hanya bisa puas bahagia melihat Rupa Tal dari kejauhan. Sudah kadung nyasar saya ke Dipang Tal sekalian yang masih satu kawasan. Sampai di Dipang Tal rasanya ingin berkata kotor. Empang kering kerontang gitu huvt.

Rupa Tal

Di sini GPS saya sudah mulai hilang akal dan keyakinan. Jadilah saya pakai GPS manual alias Gunakan Penduduk Setempat. Saya hanya bisa mengucap kata “Namastee” yang berarti halo, dan “Dhanyavad” alias terima kasih. Selebihnya saya gunakan bahasa tubuh sambil koprol joged.

Paling ajaib adalah ketika saya samperin bapak-bapak tambun dan tanya arah ke Pokhara beliau malah sekonyong-konyong naik jok motor dan “Go! Go! Go!” Panik dong saya takut kena jambret. Lagian apa coba yang dijambret, nggak ada barang berharga pun, harga diri juga kayaknya gak laku-laku amat.

“I’m waiting bus, so long, you going to Pokhara and me too. I’ll show you the way,” badalaaaa. Bapaknya enak bisa ngirit ongkos bus dan hemat waktu. Saya pun dapat guide dadakan. Mayan bisa ada temen ngobrol meski dengan bahasa Inggris yang patah-patah.

Singkat cerita saya sampai Pokhara dengan selamat dan masih ada beberapa tempat yang harus saya kunjungi. Tapi saya capek nulisnya. Jadi bersambung aja yak biar kayak sinetron haha.

Happy Traveling!

34 KOMENTAR

  1. Aku ini lagi mengingat-ingat pas kamu bicara bahasa India di Sanankerto.
    Lah gak kebayang pas ngomong bahasa India sedikit-sedikit sambil geleng-geleng kepala buahahahahha.
    Kudune mbok rekam mas. Sumpah kui apik 😀

  2. ceritanya bersambung yah lid, hahahaa jangan sampai kayak sinetron tersanjung yang sampai 6 bagian, Tidak Berjodoh Bertemu Arunika di Pokhara bag. 6 nnti…
    btw nice story lid 😀

  3. Pas banget adegan terakhirnya, boncengan berdua sambil kebut-kebutan karena dikejar tokoh antagonis. Baiklah, mari dinantikan cerita selanjutnya, hehe.
    Pengalaman tidak dapat sunrise berarti dirimu harus ke sana lagi Mas, haha. Tapi namanya dataran tinggi ya, cuacanya tidak bisa ditebak. Sesaat cerah, tapi sebentar setelahnya bisa jadi kabut dan mendung seperti mau hujan. Mungkin kalau mau ke Nepal harus di bulan-bulan tertentu kali ya supaya tidak terpengaruh cuaca buruk.
    Kalau solo traveling jadi siapa yang fotoin di atas motor sewaan itu Mas? Haha.

    • Nah looooh saya ke sana pas Mei harusnya lagi bening-beningnya cuaca. April-Mei bulan terbaik ke Nepal. Nah di atas motor itu bapaknya tak suruh motoin pas ketemu gerbang masuk kota Pokhara wkwkwk

  4. Aku pernah punya pengalaman yg sama juga. Udah bela belain berangkat sebelum subuh, motoran, eh ndilalah sampe atas berkabut. Bahkan sampe jam 8 pagi pun nggak muncul mataharine 🙁

    • Aku wis biyasah dikecewakan, adoh-adoh budal teko Endonesah nang Indiyah yo hujan badai gak ketok sanrese. Adoh-adoh nang Hong Kong malah mlungker telung dino nang kamar ra lapo-lapo. Hujan badai pisan. Dan lain sebagainy haha

  5. Jauh-jauh kesana ngejar sunrise,, cuma dihadiahi kabut tebal hahaha.. Sama kaya waktu ane ke bromo dulu, bangun pagi buta, ngantuk, nunggu sunrise, eeeh kabut tebal.. huvt..

    -Traveler Paruh Waktu

  6. Ya ampun itu viewnya Rupa Tal keren banget Lid.
    Eh ini semua foto2nya pake tripod gitu? Hahahahah.
    Bicara soal jodoh, mungkin jodoh kita masih disimpan Tuhan kali ya.
    Sengaja gitu, yang bagus2 dikeluarinnya biasa pas terakhir2, wkwkwkw 😆

  7. Melewatkan sarapan di hotel bintang 3 aja senep ya, apalagi yang kayak aku ngelewatin sarapan di Alila Solo tempo hari *ini komen apa pamer? haha.

    Di Yogya sampe 3 ID yang diminta, banyak bener. Kalo aku paling tak kasih KTP, SIM dan kartu BPJS buahahaha. Cakep danaunya Lid, kayak Danau Dal loh, minus salju.

Tinggalkan Balasan ke Gara Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here